Sabtu, 24 Januari 2009

PERDARAHAN POST PARTUM

Perdarahan Postpartum dan Penanganannya


Pendahuluan
Perdarahan postpartum adalah perdarahan yang terjadi setelah bayi lahir yang melewati batas fisiologis normal. Pada umumnya seorang ibu melahirkan akan mengeluarkan darah secara fisiologis sampai jumlah 500 ml tanpa menyebabkan gangguan homeostasis. Dengan demkian secara konvensional dikatakan bahwa perdarahan yang melebihi 500 ml dapat dikategorikan sebagai perdarahan postpartum dan perdarahan yang secara kasat mata mencapai 1000 ml harus segera ditangani secara serius1. Definisi baru mengatakan bahwa setiap perdarahan yang yang dapat mengganggu homeostasis tubuh atau mengakibatkan tanda hipovolemia termasuk dalam kategori perdarahan postpartum.2 Kemampuan seorang wanita untuk menangulangi akibat buruk pedarahan tergantung pada status kesehatan sebelumnya, ada tidaknya anemia, ada tidaknya hemokonsentrasi seperti pada preeklamsia dan ada tidaknya dehidrasi. Perdarahan sebanyak lebih dari 1/3 volume darah atau 1000 ml harus segera mendapatkan penanganan. Volume darah (dalam ml) dihitung dengan rumus berat badan (BB) dalam kg dikalikan dengan angka 80 3
Perdarahan postpartum dapat terjadi segera setelah janin lahir, selama pelepasan plasenta atau setelah plasenta lahir. Perdarahan yang terjadi sebelum dan selama plasenta lahir lebih dikenal sebagai perdarahan kala III dan perdarahan setelah plasenta lahir sebagai perdarahan kala IV. Berdasarkan waktu kejadiannya perdarahan postpartum dibagi dua yakni perdarahan postpartum dini (terjadi dalam 24 jam pertama setelah bayi lahir) dan perdarahan postpartum lanjut (terjadi setelah 24 jam sejak bayi lahir). Perdarahan yang terjadi dalam kala IV sering disebut disebut juga perdarahan postpartum segera (immediate postpartum bleeding).1
Tulisan ini secara khusus bertujuan membahas perdarahan postpartum dini dan usaha penanganannya, karena kejadiannya yang relatif lebih banyak dan sering mengakibatkan komplikasi serius berupa kematian maternal. Perdarahan postpartum lanjut yang biasanya terjadi karena retensi sisa plasenta, lebih sedikit kejadiannya dan jarang menyebabkan komplikasi serius sampai mengakibatkan kematian ibu. Sampai saat ini perdarahan postpartum masih merupakan penyebab kematian maternal tertinggi di Indonesia.
Faktor predisposisi dan etiologi
Meskipun pendekatan risiko untuk mengantisipasi perdarahan postpartum masih diperdebatkan karena tidak seorangpun pasti terbebas dari kemungkinan perdarahan setelah bersalin, tetapi pendekatan risiko tetap memberikan pertimbangan agar penanganan lebih berhati-hati dan petugas lebih siaga. Faktor risiko yang memungkinkan seorang ibu bersalin mengalami pedarahan postpartum antara lain dapat dilihat pada tabel berikut (Tabel 1).3

Tabel 1. Faktor risiko perdarahan postpartum
Process
Etiology
Risk factors

Tone

1. Uterus over-distension




2. Uterine muscle fatigue



3. Uterine infection or chorioamnionitis


4. Uterine distortion or abnormality

5. Uterine relaxing drugs




a. Multiple pregnancy
b. Macrosomia
c. Polyhydramnios
d. Severe hydrocephalus

a. Prolonged or precipitate labor, especially if stimulated
b. High parity (20-fold increased risk)
c. Previous pregnancy with PPH

a. Prolonged PROM
b. Fever

a. Fibroid uterus
b. Placenta previa

a. Anaesthetic drugs
b. Nifedipine
c. NSAIDs
d. Betamimetics
e. MgSO4
Tissue
1. Retained placenta or membranes
2. Abnormal placenta (succinturiate/accessory lobe)
a. Incomplete placenta at delivery, especially <>2000
Heart rate (bpm)
<100>100
>120
>140
Blood pressure
Normal
Orthostatic change
Marked fall
Profound fall
Capillary refill
Normal
May be delayed
Usually delayed
Always delayed

Respiration
Normal
Mild increase
Moderate tachypnea
Marked tachypnea: respiratory collapse
Urinary output (mL/h)
>30
20–30
5–20
Anuria
Mental status
Normal
Agitated
Confused
Lethargic, obtunded



Kematian terjadi karena kegagalan multiorgan. Perdarahan hebat menyebabkan penurunan volume sirkulasi sehingga terjadi respons simpatis. Terjadi takikardia, kontraktilitas otot jantung meningkat dan vasokonstriksi perifer. Sementara volume darah beredar menurun, kemampuan sel darah merah untuk mengangkut oksigen juga menurun sedang kenaikkan kontratilitas otot jantung membutuhkan pasokan oksigen lebih banyak. Keadaan ini cepat memacu terjadinya kegagalan miokardium. Vasokonstriksi perifer ditambah dengan menurunnya kemampuan darah membawa oksigen menyebabkan terjadinya hipoperfusi dan hipoksia jaringan. Hipoksia jaringan memacu metabolisme anaerob dan terjadilah asidosis. Asidosis inilah yang memacu terlepasnya berbagai mediator kimiawi dan memacu respons inflamasi sistemik. Keadaan ini menyebabkan terlepasnya radikal oksigen yang berakibat kematian sel. Kematian sel menyebabkan lemahnya sistem barier mukosa sehingga mikroorganisme dan endotoksin mudah tersebar ke seluruh jaringan dan organ. Keadaan inilah yang mengakibatkan terjadinya systemic inflammatory response syndrome (SIRS) dan kegagalan multiorgan yang berakhir dengan kematian.6

Kematian maternal
Kematian maternal didefinisikan sebagai kematian ibu yang ada hubungannya dengan kehamilan, persalinan, dan nifas yakni 6 minggu setelah melahirkan. Angka kematian maternal adalah jumlah kematian maternal per 100.000 kelahiran hidup. Perdarahan postpartum masih merupakan penyebab terbanyak kematian maternal. Secara global, diperkirakan jumlah kematian maternal dunia pada tahun 2000 mencapai 529 ribu yang tersebar di Asia 47,8% (253 000), Afrika 47,4% (251 000); Amerika Latin dan Caribbean 4% (22 000); dan kurang dari 1% (2500) di negara maju.3 Di kawasan Asean Indonesia menempati urutan tertinggi dalam angka kematian maternal yakni 390/100.000 kelahiran hidup, jauh di atas negara Asean lainnya (Gambar 1).7
Angka kematian maternal dii RS Sardjito dalam kurun waktu 5 tahun terakhir menunjukkna angka yang relatif sangat tinggi karena rumah sakit ini merupakan rumah sakit rujukan. Angka tertinggi terjadi pada tahun 2004 sebesar 1802 sedang rata-rata dalam 5 tahun adalah 1066 (Gambar 2).8 Meskipun preeklamsia/eklamsia masih merupakan penyebab kematian maternal terbesar (32%), dan infeksi merupakan penyebab kedua (23%) tetapi banyak kasus infeksi (sepsis) terjadi akibat perawatan yang lama di rumah sakit karena faktor perdarahan (Gambar 3).8





Gambar 1. Perbandingan angka kematian maternal negara Asean.7



















Penanganan
Tujuan utama penanganan perdarahan postpartum ada 3 yakni pencegahan, penghentian perdarahan dan mengatasi syok. Pendekatan risiko, meskipun menimbulkan kontroversi tetap masih mendapatkan tempat untuk diperhatikan. Setiap ibu hamil dengan faktor risiko tinggi terjadinya perdarahan postpartum sebaiknya dirujuk ke tempat fasilitas kesehatan yang mempunyai unit tranfusi dan perawatan intensif.3
Penanganan aktif kala tiga (PAKT). Setiap ibu melahirkan harus mendapatkan penanganan aktif kala tiga (active management of the third stage, AMTS). PAKT adalah sebuah tindakan (intervensi) yang bertujuan mempercepat lahirnya plasenta dengan meningkatkan kontraksi uterus sehingga menurunkan kejadian perdarahan postpartum karena atoni uteri (Tabel 6).10 Tindakan ini meliputi 3 komponen utama yakni (1) pemberian uterotonika, (2) tarikan tali pusat terkendali dan (3) masase uterus setelah plasenta lahir.9 Oksitosin 10 unit disuntikan secara intramuskular segera setelah bahu depan atau janin lahir seluruhnya. Tarikan tali pusat secara terkendali (tidak terlalu kuat) dilakukan pada saat uterus berkontraksi kuat sambil ibu diminta mengejan. Jangan lupa melakukan counter-pressure terhadap uterus untuk menghidari inversi. Never apply cord traction (pull) without applying counter traction (push) above the pubic bone on a well-contracted uterus.9 Lakukan masase fundus uteri segera setalah plasenta lahir sampai uterus berkontraksi kuat, palpasi tiap 15 menit dan yakinkan uterus tidak lembek setelah masase berhenti.9 Rekomendasi kunci yang dianjurkan dalam praktek untuk menekan kejadian perdarahan postpartum adalah sebagai berikut.4

Tabel 5. Rekomendasi kunci pencegahan perdarahan postpartum.4,10


Clinical recommendation

Evidence
rating
1. Active management of the third stage of labor decreases postpartum blood loss and the risk of postpartum hemorrhage (number needed to treat=12).
A
2. Active management of the third stage of labor does not increase the risk of retained placenta.
A
3. Oxytocin is the first choice for prevention of postpartum hemorrhage because it is as effective or more effective than ergot alkaloids or prostaglandins and has fewer side effects.
A
4. For the prevention of postpartum hemorrhage, and in conjunction with the other components of active management of the third stage of labor, oxytocin can be administered with the delivery of the anterior shoulder or after the delivery of the placenta.
B
5. The recommended dose is oxytocin 10 units intramuscularly or 20 units diluted in 500 mL normal saline intravenously to prevent postpartum hemorrhage in the third stage of labor.
B
6. Misoprostol may be used when other oxytocic agents are not available for prevention of postpartum hemorrhage (number needed to treat=18).
A
7. Misoprostol may be used for treatment of postpartum hemorrhage, but this agent is associated with more side effects than conventional uterotonic drugs.
A
8. Routine episiotomy increases anal sphincter tears and blood loss.
A
.
A = consistent, good-quality patient-oriented evidence; B = inconsistent or limited-quality patient-oriented evidence; C = consensus, disease oriented evidence, usual practice, expert opinion, or case series.

Table 6. Benefits of Active Management Vs. Physiological Management.11
Outcome
Control Rate, %
Relative Risk
95% CI*
NNT†
95% CI
PPH >500 mL
14
0.38
0.32-0.46
12
10-14
PPH >1000 mL
2.6
0.33
0.21-0.51
55
42-91
Hemoglobin <9>1000 ml). Lima penelitian misoprostol oral (3519 wanita) menurunkan kebutuhan transfusi darah sebanyak 3 kali ( RR 0.31; 95%CI 0,10-0,94). Meskipun demikian misoprostol memberikan efek samping yang cukup signifikan berupa menggigil (shivering) dan kenaikan suhu (pyrexia) sampai 38º Celsius.14 Bila misoprostol dibandingkan dengan oksitosika injeksi terlihat bahwa oksitosika injeksi lebih baik dalam mencegah kejadian perdarahan postpartum banyak (>1000 ml) dengan RR 1.36 (1.17,-1.58). Tidak ada perbedaan antara pemakaian misoprostol dibanding dengan oksitoska injeksi dalam kejadian kala III lama (>30 menit), plasenta manual maupun kebutuhan transfusi darah, bahkan untuk lama kala III, oksitosika injeksi lebih pendek dibanding misoprostol.14 Studi WHO tahun 2001 juga menunjukkan tidak ada perbedaan kejadian kematian maternal antara kedua kelompok, yakni 2 dari 9264 pada kelompok misoprostol dibanding 2 dari 9266 pada kelompok oksitiosika injeksi.14
Studi lain juga menunjukkan bahwa oksitosin masih lebih baik dibandingkan dengan misoprostol sebagai upaya pencegahan perdarahan postpartum dalam PAKT (Tabel 8).15

Tabel 8. Perbandingan misoprostol vs oksitosin dalam PAKT. 15


Misoprostol*)
n=9225

Oxytocin*)
n=9228

RR95% CI

Perdarahan ≥1000 ml

4.0%

2.9%

1.39 (1.19 to 1.63)

Uterotonika tambahan

15.2%

10.9%

1.40 (1.29 to 1.51)


*) Misoprostol (600 mg) diberikan secara oral dan oksitosin (10 U) diberikan secara intramuskular atau intravena segera setelah sebagian janin atau seluruhnya lahir.

Penanganan perdarahan postpartum yang telah terjadi (establihed postpartum hemorrhage).
Intervensi medis. Jika dengan PAKT perdarahan vaginal masih berlangsung maka harus segera diberikan 5-10 unit oksitosin secara intravena pelan atau 5-30 unit dalam 500 ml cairan dan 0,25-0,5 mg ergometrin intravena. Pada saat yang sama dilakukan pemeriksaan untuk menyingkirkan kemungkinan adanya sebab lain seperti adanya robekan jalan lahir atau retensi sisa plasenta. Perhatian harus ditujukan pada cara mengatasi syok (“ABC’s”) dengan memasang venokateter besar, memberikan oksigen dengan masker, monitoring tanda vital dan memasang kateter tinggal untuk memonitor jumlah urin yang keluar. Monitoring saturasi oksigen juga perlu dilakukan. Darah diambil untuk pemeriksaan rutin, golongan darah dan skrining koagulasi. Ada baiknya dokter menahan darah dalam tabung reaksi untuk observasi berapa lama darah menjendal. Kegagalan menjendal dalam 8-10 menit menunjukkan adanya gangguan pembekuan darah.12
Langkah penting yang harus segera diambil adalah koreksi hipovolemia (resusitasi cairan). Kelambatan atau ketidak sesuaian dalam memberikan koreksi hipovolemia merupakan awal kegagalan mengatasi kematian akibat perdarahan postpartum. Meskipun pada perdarahan kedua komponen darah yaitu plasma dan sel darah hilang, tetapi penanganan pertama untuk menjaga homeostasis tubuh dan mempertahankan perfusi jaringan adalah dengan pemberiaan ciran. Larutan kristaloid (saline normal atau ringer laktat) atau koloid harus segera diberikan dengan jumlah 3 kali estimasi darah yang hilang, tetapi larutan kristaloid lebih diutamakan. Dextran tidak boleh diberikan karena mengganggu agregasi platelet.17 Dosis maksimal untuk larutan koloid adalah 1500 ml per 24 jam.3
Oksitosin dan metilergonovin masih merupakan obat lini pertama. Oksitosin dberikan lewat infus dengan dosis 20 unit per liter dengan tetesan cepat. Bila sudah terjadi kolaps sirkulasi oksitosin 10 unit diberikan lewat suntikan intramiometrial. Tidak ada kontraindikasi untuk oksitosin dalam dosis terapetik, hanya ada sedikit efek samping yakni nausea dan muntah. Retensi air sangat jarang terjadi. Metilergonovin maleat menghasilkan kontraksi tetanik dalam 5 menit setelah pemberian intramuskular. Dosisnya adalah 0,25 mg yang dapat diulang tiap 5 menit sampai dosis maksimal 1,25 mg. Obat ini juga bisa diberikan secara intramiometrial atau intrvena dengan dosis 0,125 mg. Metilergonovin tidak boleh diberikan pada pasien hipertensi.17
Misoprostol rektal dengan dosis tinggi (1000 µg) terbukti efektif menghentikan perdarahan postpartum yang membandel (refractory). Dari 14 pasien perdarahan postpartum yang tidak tidak respons terhadap oksitosin dan metilergonovin dan mendapat 1000 µg misoprostol, pada semuanya perdarahan berhenti dalam 3 menit dan tidak memerulkan oksitosika tambahan lagi. Dosis yang lebih tinggi, 6500 µg pernah diberikan kepada 4 pasien yang tidak respons dengan uterotonika standard dan memperoleh respons yang cepat. Hasil penelitian ini memang dipertanyakan karena tidak ada kontrolnya.18
Sebuah systematic review yang melibatkan 462 partisipan yang membandingkan misoprostol (dosis 600 sampai 1000 µg) versus oksitosin plus ergometrin dan misoprostol versus plasebo memberikan hasil sebagai berikut.19
1. Penggunaan misoprostol tidak berhubungan secara bermakna dengan penurunan (a) kematian maternal (2 trial, 398 wanita; RR 7.24, 95% CI 0.38-138.6), (b) histerektomi (2 trial, 398 wanita; RR 1.24, 95% CI 0.04-40.78), (c) uterotonika tambahan (2 trial, 398 wanita; RR 0.98, 95% CI 0.78-1.24), (d) transfusi darah (2 trial, 394 wanita; RR 1.33, 95% CI 0.81- 2.18), dan evakuasi plasenta atau sisa plasenta (1 trial, 238 wanita; RR 5.17, 95% CI 0.25-107).
2. Penggunaan misoprostol meningkatkan secara bermakna kejadian maternal pyrexia (2 trial, 392 wanita; RR 6.40, 95% CI 1.71- 23.96) dan menggigil (2 trial, 394 wanita; RR 2.31, 95% CI 1.68-3.18).

Intervensi bedah. Pasien harus diletakkan dalam posisi litotomi dengan pencahayaan yang baik sehingga adanya robekan di perineum, vagina dan seviks dapat diidentifikasi. Jika robekan jalan lahir dapat disingkirkan maka segera dilakukan eksplorasi kavum uterin untuk menyingkirkan adanya retensi sisa plasenta. Jika setelah manuver ini perdarahan masih berlangsung dan kontraksi uterus lembek, maka atoni uterin adalah penyebab perdarahan.
Beberapa intervensi bedah yang dapat dilakukan adalah kompresi bimanual, tampon uterus (uterine packing, tamponade test), jahitan pada placental bed, jahitan segi empat ganda (multiple square suture), jahitan B-Lynch, ligasi arteria uterina, ligasi arteria iliaka interna, histerektomi, tampon intraabdominal (intra-abdominal packing) dan embolisasi arteria iliaka interna atau arteria uterina.16
Kompresi bimanual. Kompresi bimanual dilakukan dengan satu tangan (tangan kanan mengepal) ditempatkan di forniks anterior dan tangan kiri mengangkat korpus dan menekan ke arah tangan yang di dalam vagina. Cara ini setidaknya dapat menghentikan perdarahan sementara sambil menyiapkan langkah lainnya.
Tampon uterus (Uterine packing). Tamon uterus adalah prosedur tradisional yang banyak ditinggalkan sejak 1970-an meskipun bila dikerjakan dengan benar masih bisa memberi manfaat. Tindakan ini dipertimbangkan bila terapi obat-obatan tidak berhasil atau sambil menunggu tindakan operatif. Tamponade uterus menggunakan balon telah dilaporkan misal dengan kateter esofagus Sengstaken–Blakemore, balon hidrostatik urologik Rusch dan ‘Bakri SOS’ balloon. Balon dimasukkan dalam rongga uterin dan diinflasi dengan 300–500 ml air untuk menekan sinus yang terbuka. Kemampuan balon untuk menghentikan perdarahan atau disebut positive ‘tamponade test’, mempunyai predictive value of 87%.3
Pada keadaan di mana korpus berkontraksi baik sedang segmen bawah rahim tidak, seperti pada plasenta letak rendah, maka tampon uterus bermanfaat. Bila seluruh uterus lembek dan serviks terbuka lebar maka tampon tidak efektif karena tampon tidak mendapat tahanan dari bawah. Tampon harus dipasang dengan padat dan hanya meninggalkan bagian sedikit di dalam vagina untuk mengangkat setelah 24 jam.16
Histerektomi peripartum. Insidensi melakukan histerektomi peripartum berkisar antara 7-13 per 100.000 persalinan dan sebagian besar terjadi bersamaan dengan seksio sesarea. Indikasi utama adalah plasenta akreta, inkreta dan perkreta, atoni uterin, ruptur uterin, hematoma ligamentum latum, robekan serviks luas setelah tindakan forseps, dan koriomanionitis. Sebaiknya serviks dipotong dibawah arteria uterina. Histerektomi supraservikal dapat dilakukan kalau dibutuhkan operasi yang lebih cepat. 16
Tampon intrabdominal. Histerektomi tidak menjamin bahwa perdarahan pasti berhenti. Perdarahan bisa terjadi karena gangguan faktor pembekuan (consumptive coagulopathy) atau manipulasi yang berlebihan. Sebuah tampon padat ditaruh di tempat sumber perdarahan dan diangkat setelah 24 jam setelah gangguan perdarahan terkoreksi.16
Transfusi darah. Sel darah merah yang dimampatkan (Packed Red Cells, PRC) lebih banyak digunakan untuk mengatasi syok hemoragik. Tujuan transfusi darah pada kedaan ini adalah restorasi cairan intravaskular yang hilang dan pemulihan kapasitas membawa oksigen oleh sel darah merah (oxygen carrying-capacity). Kemampuan membawa oksigen sel darah merah pada seorang individu yang sehat tidak akan terganggu sampai kadar hemoglobin turun di bawah 6-7 g/dL. Kehilangan darah lebih dari 20-25% atau dengan kecurigaan koagulopati memerlukan penggantian faktor koagulasi. Pemeriksaan faktor koagulasi juga diperlukan setelah pemberian 5-10 unit PRC.21
Di beberapa rumah sakit di Inggris, dalam keadaan yang sangat mendesak (kehilangan darah sampai 40% dan perdarahan masih berlangsung), tersedia fasilitas electronic cross-matching yang mampu menyediakan darah fully cross-matched dalam 10 menit meskipun untuk melakukan electronic cross-matching diperlukan syarat tertentu. Jika fasilitas ini tidak ada, maka type-specific uncross-matched blood bisa dimintakan. Dengan cara ini risiko sebuah unexpected antibody adalah rendah (1–4%) tergantung apakah pasien pernah mendapat transfusi sebelumnya atau belum, dan risiko reaksi transfusi jauh lebih rendah lagi. Bahkan dalam situasi yang lebih mendesak lagi darah golongan O dan Rhesus (RhD) negatif dapat diberikan sebagai upaya life saving.20 Tabel berikut menggambarkan seberapa mendesak darah harus segera tersedia.

Tabel 9. Urgensi permintaan darah20

Estimated blood loss
(ml) (% blood volume)
for a 60-kg woman
Degree of urgency
Request
500–1000 (10–20%)
Standby
Standard cross-match of 2 units
1000–1500 (20–30%):
blood loss controlled
Urgent (blood needed within 1 h)
Urgent cross-match of 6 units
1000–1500 (20–30%):
actively bleeding and
1500–2500 (30–40%)
Very urgent (blood needed within
30 min)
6 units type-specific or uncross-matched blood or electronic issue of blood where suitable facilities present
>2500 (>40%) or
above with no response
to fluid resuscitation
Emergency (blood needed within
15 min)
2–4 units Group O RhD-negative blood from satellite fridge or blood bank followed by type-specific or electronic issue of blood where suitable facilities present

Disseminated intravascular coagulation (DIC). DIC adalah gangguan mendadak yang disebabkan oleh hilangnya kontrol aktivasi pembekuan intravaskular yang menyebabkan pembentukan trombin secara abnormal dan terus menerus. Darah merembes dari tempat luka, tusukan infus, bekas tusukan jarum, permukaan mukosa, petekie, ekimosis, adalah manifestasi perdarahan yang sering terlihat. Kegagalan organ yang terjadi secara sekunder sebagai akibat iskemia karena timbunan fibrin dalam pembuluh darah juga sering dijumpai.20 DIC harus dicurigai bila terjadi penurunan fibrinogen secara bermakna disertai dengan memanjangnya prothrombine time (PT), activated partial thromboplastine time (APTT), trombositopenia sedang sampai berat dan diikuti dengan kenaikan D-dimers dan fibrinogen degradation products (FDPs).20 Tabel 10 menunjukkan indikasi pemberian komponen darah.22


Tabel 10. Indikasi pemberian terapi komponen darah.22
Component
Indication
Usual starting dose
Packed RBC
Replacement of oxygen-carrying capacity
2– 4 Units IV
Platelets
Thrombocytopenia or thrombasthenia with bleeding
6–10 Units IV
Fresh frozen plasma
Documented coagulopathy
2–6 Units IV
Cryoprecipitate
Coagulopathy with low fibrinogen
10–20 Units IV

Rekomendasi menghadapi pasien perdarahan postpartum.
Perdarahan postpartum sering bersifat akut, dramatik, underestimated dan merupakan sebab utama kematian maternal. Manajemen perdarahan postpartum telah direview secara rinci dalam SOGC Clinical Practice Guidelines for the Prevention and Management of Postpartum Hemorrhage dengan rekomendasi sebagai berikut.22
1. Clinicians should be familiar with the clinical signs of hemorrhagic shock. (III-B)
2. Clinicians should be familiar with the stages of hemorrhagic shock. (III-B)
3. Clinicians should assess each woman’s risk for hemorrhagic shock and prepare for the procedure accordingly. (III-B)
4. Resuscitation from hemorrhagic shock should include adequate oxygenation. (II-3A)
5. Resuscitation from hemorrhagic shock should include restoration of circulating volume by placement of two largebore IVs, and rapid infusion of a balanced crystalloid solution.
(I-A)
6. Isotonic crystalloid or colloid solutions can be used for volume replacement in hemorrhagic shock (I-B). There is no place for hypotonic dextrose solutions in the management of hemorrhagic shock (I-E).
7. Blood component transfusion is indicated when deficiencies have been documented by clinical assessment or hematological investigations (II-2B).They should be warmed and infused through filtered lines with normal saline, free of additives and drugs (II-3B).
8. Vasoactive agents are rarely indicated in the management of hemorrhagic shock and should be considered only when volume replacement is complete, hemorrhage is arrested, and hypotension continues. They should be administered in a critical care setting with the assistance of a multidisciplinary team. (III-B)
9. Appropriate resuscitation requires ongoing evaluation of response to therapy, including clinical evaluation, and hematological, biochemical, and metabolic assessments. (III-B)
10. In hemorrhagic shock, prompt recognition and arrest of the source of hemorrhage, while implementing resuscitative measures, is recommended. (III-B)

Ringkasan:
1. Perdarahan postpartum sering bersifat akut, dramatik, underestimated dan merupakan sebab utama kematian maternal.
2. Pendekatan risiko diperlukan untuk mengantisipasi kemungkinan kejadiannya. Grandemultigavida merupakan faktor risiko utama dengan nilai odds ratio 20 kali.
3. Penanganan perdarahan postpartum ditujukan pada 3 hal yakni pencegahan, penghentian perdarahan dan mengatasi syok.
4. Penanganan aktif kala III persalinan merupakan tindakan preventif yang harus diterapkan pada setiap persalinan.
5. Oksitosin dan metilergonovin merupakan obat lini pertama baik dalam upaya pencegahan maupun pengobatan. Misoprostol dengan dosis 600-1000 µg dapat dipakai bila obat lini pertama gagal.
6. Restorasi cairan melalui dua jalur infus dengan venokateter ukuran besar (16-18) adalah tindakan pertama mengatasi syok hemoragik. Larutan kristaloid sebanyak 3 kali estimasi jumlah darah yang hilang dapat mempertahankan perfusi jaringan.
7. Dalam keadaan yang sangat mendesak (perdarahan mencapai 40% volume darah) dan masih berlangsung pemberian darah yang sesuai tanpa crossmatching adalah tindakan live safing yang dapat dibenarkan.
8. Tindakan bedah dilakukan bila usaha menghentikan perdarahan secara medis tdak berhasil. Tindakan tersebut adalah kompresi bimanual, tamponade, jahitan B Lynche, histerektomi dan tamponade intraabdominal.
9. Bila terjadi gejala DIC maka pengobatan khusus DIC harus segera diberikan mulai dari transfusi platelet, fresh frozen plasma dan cryoprecipitate.

Referensi :
1. WHO. World Health Report 2005—Make every mother and child count. Geneva: World Health Organization; 2005
2. Cuningham FG, Mc Donald PC, Grant NF, Leveno KJ, Gilstrap LC, Hankins GDV, Clark SL. William Obstetrics 21st ed. Connecticut: Appleton and Lange. 2001
3. Ramanathan, G and Arulkumaran, S. Postpartum Hemorrhage. J Obstet Gynaecol Can 2006;28(11):967–973
4. Maughan KL, Heim SW, Galazka SS. Preventing Postpartum Hemorrhage: Managing the Third Stage of Labor. Am Fam Physician 2006;73:1025-8.
5. American College of Obstetricians and Gynecologists: ACOG educational bulletin. Hemorrhagic shock. Number 235. Int J Gynaecol Obset 1997;57:219–26.
6. Marzi I. Hemorrhagic shock: update in pathophysiology and therapy. Acta Anaesthesiol Scand Suppl 1997;111:42-4.
7. Martaadisubrata D, Sastrawinata S dan Saifudin AB (eds). Bunga Rampai Obstetri dan Ginekologi Sosial. Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo. Jakarta 2005.
8. Wahyu, O dan Siswosudarmo, HR. Angka Kematian Maternal di RS Sardjito dalam kurun waktu 2003-2007. Proc. KOGI XV II Balikpapan, 2008.
9. Anonym. Management of the third stage of labor to prevent postaprtum hemorrhage. International Joint Policy Statemen of the International Confederation of Midwives (ICM) and the International Federation of Gynecology and Obstetrics (FIGO. J Obstet Gynaecol Can 2003;25(11):952–3.
10. Anderson J M and Etches D. Prevention and Management of Postpartum Hemorrhage. Am Fam Physician 2007;75:875-82.
11. Prendiville WJ, Elbourne D, McDonald S: Active versus expectant management in the third stage of labour (Cochrane Review). In: The Cochrane Library, Issue 2. Oxford, UK: Update Software. 2002.
12. Schuurmans N, MacKinnon C, Lane C, and Etches D. SOGC Clinical Practice Guidline. Prevention and Management of Postpartum Hemorrhage. J Soc Obstet Gynaecol Can 2000;22(4):271-81
13. Goldberg AB, Greenberg MB, and Darney PD. Misoprostol and Pregnancy. N Engl J Med 2001; 344 (1): 38-45.
14. Gülmezoglu AM, Forna F, Villar J, Hofmeyr GJ. Prostaglandins for preventing postpartum hemorrhage.Cochrane Database of Systematic Reviews 2007, Issue 3. Art. No.: CD000494. DOI: 10.1002/14651858.CD000494.pub3
15. Gülmezoglu AM, Villar J, Ngoc NTN et.al. WHO Multicentre Randoized Trial of Misoprostol in the Management of the Third Stage of Labor. Lancet 2001;358:689-95.
16. Elyan A and Ibrahim A. Intractable Postpartum Hemorrhage. ASJOG 2004; Vol 1:132-6
17. Selo-Ojeme. Primary postpartum hemorrhage Journal of Obstetrics and Gynaecology 2002; Vol. 22, No. 5, 463–469
18. Abdel-Aleem H, El-Nashar I and Abdel-Aleem A. (2001) Management of severe postpartum hemorrhage with misoprostol. International Journal of Gynecology and Obstetrics, 72, 75–76.
19. Mousa HA, and Alfirevic Z. Treatment for primary postpartum hemorrhage. Cochrane Database of Systematic Reviews 2007, Issue 1. Art. No.: CD003249. DOI: 10.1002/14651858.CD003249.pub2.
20. Macphaila S, and Talks K. Massive post-partum haemorrhage and management of disseminated intravascular coagulation. Current Obstetrics & Gynaecology (2004) 14, 123–131
21. Smith HO. Shock in the gynecologic patient. In: Rock JA,Thomson JD, editors.Te Linde’s operative gynecology. 8th ed. Lippincott-Raven; 1997. p. 245-61.
22. Martel MJ and Saskatoon SK. SOGC Clinical Practice Guidline. Hemorrhagic shock. J Obstet Gynaecol Can 2002;24(6):504-11.














SORT: Key Recommendations for Practice

CPG

Critical Appraisal on Therapy
“Effect of Antenatal Corticosteroid and Antibiotics in Pregnancies Complicated by Premature Rupture of Membranes between 24 and 28 weeks of Gestation”





Clinical Question
l Components of foreground question (PICO):
¡ Patient and the problem: ketuban pecah dini kehamilan preterm 24 sampai 28 minggu dan luaran bayi
¡ Intervention: kortikosteroid dan antibiotika
¡ Comparison: tanpa terapi
¡ Outcome of interest: apgar skor dan respiratory distress syndrom
Pertanyaan:
Apakah kortikosteroid dan antibiotika memberikan luaran bayi yang lebih baik pada pasien dengan ketuban pecah dini kehamilan preterm 24 sampai 28 minggu?

Searching strategy
Dengan keyword: ketuban pecah dini, hamil preterm, antibiotika dan kortikosteroid maka didapatkan jurnal ini yaitu:
“Effect of Antenatal Corticosteroid and Antibiotics in Pregnancies Complicated by Premature Rupture of Membranes between 24 and 28 weeks of Gestation”
Downloaded from: J Korean Med Sci 2005
Critical Appraisal on Therapy
I. Are the results of this single preventive or therapeutic trial valid?
1. Was the assignment of patients to treatments randomised ? and was the randomisation list concealed?
Tidak. Karena subyek
Ya. Skema randomisasi menggunakan program komputer dan disembunyikan dari peneliti, klinisi dan pasien.
2. Were all patient who entered the trial accounted for its conclusion? –and were they analysed in the groups to which they were randomised?
Ya. Dari 50 subyek yang ikut penelitian, 10 dieksklusi karena tidak tepatnya inklusinya (40 pasien dianalisis)
Ya. Subyek dianalisa berdasar kelompoknya masing-masing.
3. Were patients and clinicians kept “blind” to which treatment was being received?
Ya. Jenis obat yang diberikan tidak diketahui oleh peneliti, klinisi, dan pasien.
4. Aside from the experimental treatment, were the groups treated equally?
Ya. Karena semua kelompok mendapat perlakuan yang sama di luar obat yang diteliti
5.Were the groups similar at the start of trial?
Ya.





Aspirin
Plasebo
SGA +
1
4
SGA -
15
13


Occurrence of clinical resolution
Relative Risk Reduction (RRR)
Absolute Risk Reduction (ARR)
Number Needed
To Treat (NNT)
Usual SGA on plasebo Control
Event Rate
CER
Aspirin Experimental Event Rate
EER
CER-EER
CER
CER-EER
1/ARR
23%
7%
(23%-7%) 23%
= 69%

(23%-7%)
= 16%
1 / 16% =
6

3. Can you apply this valid, important evidence about a treatment in caring for your patient?
Is our patient so different from those in the trial that its result can’t help you?
Tidak. Penelitian ini bisa diaplikasikan
How great would the potential benefit of therapy actually be for your individual patient?
Aspirin tidak memberikan pengaruh yang bermakna pada antenatal ataupun outcome neonatal.

Kesimpulan apraisal jurnal ini
l tidak valid
l important
l
…important aplicable
Sehingga jawaban dari pertanyaan klinis yang diajukan sebelumnya adalah, aspirin tidak mempengaruhi outcome kehamilan pada wanita hamil dengan sindroma antiphospholipid.

PUD

Perdarahan Uterus Disfungsional

Perdarahan uterus disfungsional mendeskripsikan spektrum pola-pola perdarahan menstruasi abnormal yang dapat terjadi pada wanita-wanita anovulatorik tanpa penyakit medis atau patologi pelvis. Perdarahan anovulatorik dapat ditatalaksana secara efektif dan yakin dengan rejimen-rejimen terapi medis berdasarkan konsep fisiologi yang kuat. Rejimen-rejimen terapi yang dijelaskan di sini telah dites dan dirancang untuk mencapai dua tujuan spesifik namun berkaitan satu sama lain. Yang pertama adalah untuk mengembalikan abnormalitas dari pertumbuhan dan perkembangan endometrium yang diakibatkan dari anovulasi kronik serta predisposisi untuk aliran menstruasi yang berlebihan dan lama. Tujuan terapi yang kedua adalah memacu atau mengembalikan volume dan distribusi normal dari menstruasi siklik yang dapat diprediksi.
Kunci keberhasilan penatalaksanaan klinis dari perdarahan disfungsional adalah mengenali atau mengidentifikasi mekanisme-mekanisme yang bekerja atau bertanggungjawab. Suatu anamnesis riwayat menstruasi dan pemeriksaan fisik yang teliti biasanya memberikan sebagian besar informasi yang dibutuhkan untuk membedakan anovulasi dari penyebab-penyebab lain perdarahan abnormal.

Perdarahan Menstruasi Normal
Adalah ovulasi atau, yang lebih spesifik, rangkaian terorganisir dari sinyal-sinyal endokrin yang mengkarakterisasi siklus ovulatorik, yang memberikan regularitas, prediktabilitas, dan konsistensi menstruasi.

Selama fase folikuler dari siklus ovarium normal (berkaitan dengan fase proliferatif dari siklus endometrium), kadar estrogen meningkat, awalnya perlahan-lahan kemudian lebih cepat, karena folikel ovarium yang dominan muncul, tumbuh, dan matang. Sebagai respon terhadap estrogen tersebut, lapisan fungsional dari endometrium tumbuh kembali, setelah luruh selama menstruasi sebelumnya. Setelah ovulasi, korpus luteum yang berasal dari folikel ovulatorik terus menghasilkan estrogen, namun saat ini dan yang lebih penting, juga progesteron. Selama fase luteal dari siklus ovarium (berkaitan dengan fase sekretorik dari siklus endometrium), kadar estrogen dan progesteron meningkat bersamaan saat korpus luteum tumbuh menjadi matang. Sebagai respon terhadap kerja kombinasi dari estrogen dan progesteron, endometrium berubah dan diatur untuk datangnya serta implantasi dari hasil konsepsi yang diharapkan. Jika kehamilan dan peningkatan cepat dari kadar gonadotropin korionik manusia (hCG) tidak menstimulasi dan ‘menyelamatkan’-nya, korpus luteum mengalami regresi spontan dalam bentuk kematian sel yang telah diprogram sebelumnya. Begitu terjadi hal tersebut, kadar estrogen dan progesteron turun secara konstan, akhirnya menarik dukungan fungsional untuk endometrium. Menstruasi dimulai, menandai akhir dari satu siklus endometrium dan dimulainya siklus lain.

Dari semua tipe hubungan hormon-endometrium yang berbeda, stimulasi dan withdrawal estrogen-progesteron menghasilkan endometrium yang paling stabil serta karakteristik menstruasi yang paling reproduksibel. Rangkaian tersebut begitu mengendalikan sehingga kebanyakan wanita ovulatorik mempunyai pola, volume, dan durasi aliran menstruasi yang dikenalinya sendiri, yang sangat sering disertai oleh pola molimina premenstruasi yang sama konsisten dan dapat diprediksi (pembengkakan, perlunakan payudara, perubahan mood). Perhatian teliti terhadap detil riwayat menstruasi dapat sangat membantu dalam membedakan perdarahan anovulatorik dari penyebab-penyebab lainnya.

Variasi dalam aliran menstruasi dan panjang siklus biasa terjadi pada usia reproduksi ekstrim, selama masa remaja awal dan sebelum menopause. Prevalensi dari siklus-siklus anovulatorik paling tinggi pada wanita-wanita berusia kurang dari 20 dan lebih dari 40. Menarke biasanya diikuti oleh siklus yang relatif panjang kira-kira 5-7 tahun, yang lamanya berkurang secara bertahap dan menjadi lebih teratur. Meskipun karakteristik-karakteristik siklus menstruasi biasanya tidak berubah selama usia reproduksi, panjang dan variabilitas siklus keseluruhan berkurang secara lambat. Biasanya, nilai rata-rata dari panjang dan rentang siklus mencapai titik terendah pada usia kira-kira 40-42. Selama 8-10 tahun berikutnya sebelum menopause, tren ini terbalik; baik panjang maupun variabilitas siklus rata-rata meningkat secara tetap karena ovulasi menjadi kurang teratur dan sering. Rata-rata panjang siklus lebih besar pada wanita-wanita dengan massa dan komposisi tubuh ekstrim; indeks massa tubuh yang tinggi dan rendah, massa tubuh yang gemuk dan massa tubuh yang kurus berkaitan dengan peningkatan rata-rata panjang siklus.

Secara umum, variasi dalam panjang siklus mencerminkan perbedaan dalam panjang fase folikuler dari siklus ovarium. Wanita-wanita yang punya siklus 25 hari mengalami ovulasi pada atau kira-kira pada hari 10-12, dan wanita-wanita yang punya siklus 35 hari mengalami ovulasi kira-kira 10 hari kemudian. Dalam beberapa tahun setelah menarke, fase luteal menjadi sangat konsisten (13-15 hari) dan tetap begitu sampai perimenopause. Pada usia 25 tahun, lebih dari 40% siklus panjangnya antara 25 dan 28 hari; dari usia 25 hingga 35 adalah lebih dari 60%. Meskipun hal ini merupakan interval antar menstruasi yang paling sering dilaporkan, hanya kira-kira 15% siklus pada wanita usia reproduksi yang benar-benar panjangnya 28 hari. Kurang dari 1% wanita punya siklus teratur yang berlangsung kurang dari 21 hari atau lebih dari 35 hari. Kebanyakan wanita punya siklus yang berlangsung dari 24 hingga 35 hari, namun paling tidak 20% wanita mengalami siklus ireguler.

Durasi aliran menstruasi biasanya adalah 4-6 hari, namun untuk beberapa wanita (kira-kira 3%) menstruasi dapat berlangsung 2 hari atau 7 hari. Volume rata-rata dari kehilangan darah menstruasi kira-kira 30 mL; lebih dari 80 mL adalah abnormal. Aliran dapat berlebihan tanpa menjadi lama secara abnormal karena kebanyakan kehilangan darah menstruasi terjadi pada 3 hari pertama.

Tanpa memperhitungkan jumlah sebenarnya dari kehilangan darah, perdarahan menstruasi yang mempengaruhi aktivitas harian atau menyebabkan ansietas dan kekhawatiran membutuhkan evaluasi. Perdarahan tengah siklus dapat menjadi suatu konsekuensi yang kadang-kadang terjadi karena turunnya kadar estrogen secara sementara namun tiba-tiba yang terjadi pada waktu ovulasi, namun wanita-wanita yang mengalami episode perdarahan antar menstruasi rekuren seringkali memiliki patologi intrauterin dan membutuhkan evaluasi.

Mekanisme-mekanisme yang Terlibat dalam Onset dan Berhentinya Menstruasi Normal

Awalnya, menstruasi dibayangkan sebagai nekrosis iskemik dari endometrium yang disebabkan oleh vasokonstriksi arteriol-arteriol spiral pada lapisan basal, yang dicetuskan oleh withdrawal estrogen dan progesteron. Secara serupa, akhir dari menstruasi dijelaskan dengan gelombang vasokonstriksi yang lebih lama dan lebih intens dikombinasi dengan mekanisme-mekanisme koagulasi yang diaktifkan oleh stasis vaskuler dan kolaps endometrium, dibantu oleh reepitelisasi cepat yang diperantarai oleh estrogen yang berasal dari kohort folikuler baru yang muncul.

Hasil dari penelitian-penelitian yang lebih baru tidak mendukung teori hipoksia klasik dari menstruasi. Selain kejadian-kejadian vaskuler, topik utama mengenai model baru dari inisiasi menstruasi adalah autodigesti enzimatik dari lapisan fungsional endometrium dengan pleksus kapiler subpermukaannya, mungkin meluas ke sistim arterioler spiral pada lapisan basal. Konsep klasik dari mekanisme yang mengakhiri menstruasi secara esensial tidak berubah; mekanisme koagulasi, vasokonstriksi lokal, dan reepitelisasi semuanya berkontribusi terhadap hemostasis dalam endometrium menstruasi dengan kejadian-kejadian vaskuler memainkan peran kunci.
Degradasi enzimatik dari endometrium yang dicetuskan oleh withdrawal estrogen-progesteron melibatkan sejumlah mekanisme berbeda namun berkaitan termasuk pelepasan enzim-enzim lisosomal intraseluler, protease dari sel-sel inflamasi yang infiltratif, dan kerja dari metalloproteinase matriks. Pada separuh pertama fase sekretorik, fosfatase asam dan enzim litik poten lainnya terkurung dalam lisosom intraseluler, pelepasannya dihambat oleh progesteron lewat stabilisasi membran lisosom. Saat kadar estrogen dan progesteron turun pada hari-hari menjelang menstruasi, membran lisosom mengalami destabilisasi dan enzim-enzim di dalamnya dilepaskan ke dalam sitoplasma sel-sel epitel, stroma, dan endotel, serta akhirnya ke dalam ruang interseluler. Enzim-enzim proteolitik ini mencerna komponen-komponen seluler dan juga membran permukaan serta desmosom (jembatan interseluler). Dalam endotel vaskuler, kerjanya menyebabkan deposisi platelet, pelepasan prostaglandin, trombosis vaskuler, ekstravasasi sel darah merah dan nekrosis jaringan.

Withdrawal progesteron juga menstimulasi suatu respon inflamasi di dalam endometrium. Tepat sebelum menstruasi, jumlah total lekosit di dalam endometrium meningkat nyata hingga 40% stroma. Infiltrat inflamasi (termasuk netrofil, eosinofil, dan makrofag atau monosit) ditarik oleh molekul-molekul kemoatraktif (kemokin) yang disintesis oleh sel-sel endometrium, beberapa diantaranya di-down regulasi oleh progesteron (interleukin 8; IL-8). Jika teraktivasi, lekosit-lekosit menghasilkan bermacam-macam molekul regulator termasuk sitokin, kemokin, dan banyak enzim yang berkontribusi terhadap degradasi dari matriks ekstraseluler, secara langsung atau tidak langsung melalui aktivasi protease-protease lainnya.

Metalloproteinase matriks merupakan keluarga dari enzim proteolitik yang mendegradasi komponen-komponen matriks ekstraseluler dan membran basal. Metalloproteinase tersebut meliputi kolagenase yang mendegradasi kolagen membran basal dan intersisial, gelatinase yang mencerna kolagen lebih lanjut, dan stromelisin yang menyerang fibronektin, laminin, serta glikoprotein. Tiap anggota keluarga tersebut adalah spesifik subrat dan disekresi sebagai suatu zimogen inaktif yang membutuhkan aktivasi oleh plasmin, protease lekosit, atau metalloproteinase lain. Ekspresi, sekresi, dan aktivasi dari metalloproteinase matriks endometrium bersifat tergantung siklus dan meningkat secara nyata pada fase sekretorik akhir tepat sebelum menstruasi. Secara keseluruhan, progeteron menghambat ekspresi metalloproteinase endometrium, suatu kerja yang diperantarai oleh transforming growth factor (TGF)-β. Withdrawal progesteron mempunyai efek berlawanan – meningkatkan sekresi dan aktivasi metalloproteinase, diikuti dengan disolusi dari matriks ekstraseluler. Modulator-modulator lokal (secara dominan sitokin) berasal dari sel-sel epitel, stroma, dan endotel endometrium serta inhibitor-inhibitor jaringan alamiah dari metalloproteinase matriks yang mengikat bentuk aktif enzim-enzim tersebut juga memainkan peran penting dalam regulasinya. Dalam siklus konsepsi dimana peningkatan kadar progesteron menetap, aktivitas metalloproteinase matriks tetap tersupresi secara efektif. Dalam siklus menstruasi normal, ekspresi metalloproteinase tersupresi setelah menstruasi, diduga karena peningkatan kadar estrogen.

Degradasi enzimatik progresif dari endometrium pada akhirnya merusak sistim vaskuler venosa dan kapiler subpermukaan, menyebabkan perdarahan intersisial; disolusi dari membran permukaan memungkinkan darah untuk keluar ke dalam rongga endometrium. Pada akhirnya, degenerasi meluas ke lapisan fungsional terdalam dimana ruptur arteriol-arteriol basal berkontribusi terhadap perdarahan. Suatu bidang pembelahan alami muncul pada hubungan stroma yang longgar, vaskuler, dan edematosa dengan lapisan basal. Deskuamasi dimulai pada fundus dan secara bertahap meluas ke arah ismus. Hasil akhir adalah endometrium menstruasi yang kempis dan dangkal namun padat.

Cairan menstruasi terdiri dari endometrium autolisis yang kaya akan eksudat inflamasi, sel darah merah dan enzim-enzim proteolitik. Salah satu dari enzim-enzim tersebut, plasmin, yang terbentuk dari aktivasi prekursor inaktifnya, plasminogen, memiliki kerja fibrinolitik poten yang membantu mencegah pembekuan cairan menstruasi dan memfasilitasi ekspulsi dari jaringan degeneratif. Aktivator-aktivator plasminogen yang memperantarai konversi plasminogen menjadi plasmin dijumpai pada endometrium sekretorik akhir dan menstruasi, serta dilepaskan dari endotel vaskuler endometrium yang degeneratif. Hingga beberapa derajat, jumlah perdarahan menstruasi diatur oleh keseimbangan lokal antara fibrinolisis dan pembekuan. Faktor jaringan sel stroma endometrium dan inhibitor aktivator plasminogen (PAI)-1 memacu pembekuan dan membantu menyeimbangkan proses fibrinolitik. Pada awal menstruasi, sumbat-sumbat platelet intravaskuler, dan yang lebih lanjut, trombus terbentuk pada permukaan peluruhan, membantu membatasi kehilangan darah. Kepentingannya terhadap hemostasis pada endometrium menstruasi dapat diduga dari peningkatan volume kehilangan darah menstruasi yang dijumpai pada wanita-wanita dengan trombositopenia dan penyakit Von Willebrand. Namun, pada akhirnya, berhentinya perdarahan menstruasi tergantung pada vasokonstriksi dalam arteriol-arteriol spiral yang gundul pada lapisan basal endometrium, juga mungkin pada arteri-arteri radialis dari miometrium superfisial. Endotelin merupakan vasokonstriktor aktivasi lama yang poten dari otot polos vasukler, yang dihasilkan oleh sel-sel kelenjar, stroma, dan endotel endometrium. Endometrium menstruasi mengandung konsentrasi tinggi dari endotelin dan prostaglandin yang secara bersama-sama menyebabkan vasokonstriksi intens pada arteriol-arteriol spiral. Kontraksi miometrium yang berkaitan dengan kejadian-kejadian menstruasi sangat cenderung mencerminkan kerja dari prostaglandin F2α, namun berlawanan dengan perdarahan postpartum, kontraksi miometrium tidak penting dalam pengendalian perdarahan menstruasi.

Reepitelisasi permukaan juga berkontribusi terhadap hemostasis pada endometrium menstruasi. Proses tersebut terjadi secara cepat, dimulai pada mulut bagian basal kelenjar-kelenjar residual pada daerah-daerah yang gundul secara lengkap, dan menyebar ke arah luar. Regio-regio perifer dari kavitas pada ismus dan dekat ostia tuba (yang tidak luruh selama proses menstruasi) juga berkontribusi terhadap pembentukan permukaan kembali. Umumnya, saat hari siklus ke-5, daerah-daerah terpisah dari proliferasi epitel ini bertemu dan menyatu; perdarahan berhenti sempurna hanya saat permukaan epitel yang baru telah selesai. Mekanisme-mekanisme yang mengatur fase inisial dari perbaikan jaringan dan peran yang dipunyai estrogen, jika ada, masih belum pasti. Pada beberapa hari pertama dari siklus yang baru, kadar estrogen sirkulasi dan konsentrasi reseptor estrogen serta progesteron endometrium adalah rendah dan tidak berubah dari kadar premenstruasi. Terlebih lagi, bahkan setelah ovariektomi dan denudasi endometrium, endometrium menyembuh, menunjukkan bahwa fase inisial dari perbaikan jaringan sangat tidak tergantung pada estrogen.

Stroma mengalami regenerasi dari sel stem yang terletak pada lapisan basal endometrium, namun hanya setelah epitel permukaan yang konfluen pulih. Kerusakan pembuluh darah endometrium cepat diperbaiki. Pertumbuhan pembuluh darah baru dan aktivitas mitotik pada semua bagian endometrium manusia yang berregenerasi terjadi bersamaan dengan peningkatan kadar estrogen serum serta peningkatan konsentrasi reseptor estrogen dan progesteron endometrium. Metalloproteinase matriks terdapat dalam endometrium menstruasi dan protease-protease lain mungkin merupakan mediator yang penting dari pelepasan serta aktivasi faktor-faktor pertumbuhan yang diperlukan untuk perbaikan endometrium. Faktor pertumbuhan endotel vaskuler (VEGF) merupakan suatu promoter penting dari mitosis endometrium dan dapat diinduksi oleh faktor nekrosis tumor (TNF)-α, TGF-β, serta faktor pertumbuhan mirip insulin-1.

Terdapat dua alasan dasar mengapa perdarahan menstruasi normal bersifat self-limited.

Dalam respon terhadap suatu withdrawal estrogen-progesteron simultan, peluruhan endometrium bersifat universal. Karena onset dan akhiran menstruasi berkaitan dengan kejadian hormonal siklik yang terorganisir, perubahan-perubahan menstruasi terjadi secara seragam di seluruh rongga endometrium. Peluruhan dari lapisan fungsional dan paparan dari lapisan regeneratif basal endometrium menstimulasi mekanisme-mekanisme koagulasi, vasokonstriksi, serta rekonstruksi epitelial yang secara efektif membatasi volume dan durasi perdarahan.

Dalam respon terhadap stimulasi estrogen-progesteron sekuensial siklik, pertumbuhan dan perkembangan dari epitel, stroma, serta mikrovaskulatur endometrium secara struktural bersifat stabil dan pemecahan acak dihindari. Rangkaian kejadian yang menyebabkan disintegrasi enzimatik dari endometrium berlangsung dalam suatu cara yang urut dan sinkron. Endometrium tidak mengalami perbaikan, namun secara lengkap dibentuk ulang pada interval yang teratur.

Respon-respon Endometrium terhadap Hormon Steroid: Fisiologik dan Farmakologik

Perdarahan menstruasi normal pada akhir suatu siklus ovulatorik disebabkan oleh withdrawal estrogen-progesteron. Mekanisme yang sama bekerja saat korpus luteum lepas atau saat dukungan gonadotropin tiba-tiba terputus selama fase luteal. Contoh-contoh lain termasuk perdarahan yang terjadi setelah penghentian estrogen dan progestin pada wanita-wanita yang mendapat terapi hormon postmenopause siklik serta perdarahan yang datang pada akhir suatu siklus standar kontrasepsi oral. Dalam kondisi-kondisi ini, perdarahan biasanya bersifat reguler, dapat diprediksi, dan konsisten volume serta durasinya. Namun, withdrawal estrogen-progesteron bukan pola satu-satunya dari sinyal hormon steroid yang dapat mencetuskan perdarahan endometrium. Perdarahan juga dapat disebabkan dari withdrawal estrogen, breakthrough estrogen, withdrawal progesteron, dan breakthrough progesteron.

Perdarahan Withdrawal Estrogen
Salah satu contoh klinis dari perdarahan withdrawal estrogen adalah yang dapat terjadi setelah ooforektomi bilateral selama fase folikuler siklus. Perdarahan yang terjadi setelah pengangkatan ovarium tersebut dapat ditunda dengan terapi estrogen eksogen, namun akan muncul jika terapi dihentikan. Contoh-contoh lain meliputi terapi siklik hormon estrogen saja pada wanita-wanita yang mengalami kastrasi atau postmenopause dan perdarahan tengah siklus yang terjadi bersama dengan penurunan sementara namun tiba-tiba dalam kadar estrogen segera sebelum ovulasi.

Perdarahan Breakthrough Estrogen
Contoh klinis terbaik dari perdarahan breakthrough estrogen adalah pola perdarahan berbeda yang dijumpai pada wanita-wanita dengan anovulasi kronik. Jumlah dan durasi dari perdarahan breakthrough estrogen dapat berbeda secara luas, tergantung pada jumlah dan durasi dari stimulasi estrogen tanpa rintangan yang diterima endometrium. Kadar paparan estrogen kronik yang relatif rendah biasanya menyebabkan spotting atau bercak intermiten yang pada umumnya bervolume kecil namun lama. Secara berlawanan, stimulasi estrogen tingkat tinggi yang lama biasanya menyebabkan interval yang panjang dari amenorea diselingi episode akut dari perdarahan yang seringkali profus dan bervariasi durasinya.

Perdarahan Withdrawal Progesteron
Perdarahan withdrawal progesteron dijumpai jika terapi dengan progesteron eksogen atau suatu progestin sintetik dihentikan. Perdarahan withdrawal progesteron biasanya terjadi hanya jika endometrium mula-mula dimatangkan dengan estrogen eksogen atau endogen. Jumlah dan durasi dari perdarahan dapat bervariasi secara luas dan biasanya berkorelasi dengan tingkat serta durasi dari proliferasi endometrium yang distimulasi estrogen. Pada wanita-wanita dengan kadar estrogen yang agak rendah atau amat rendah atau interval pendek dari amenorea, perdarahan biasanya ringan hingga sangat sedikit dan mungkin malah tidak terjadi. Pada mereka dengan kadar estrogen yang terus tinggi atau interval amenorea yang panjang, perdarahan dapat berat dan lama, namun masih dapat hilang sendiri. Antara ekstrim-ekstrim tersebut, jumlah dan durasi perdarahan yang dicetuskan oleh withdrawal progesteron biasanya serupa dengan yang dijumpai pada akhir suatu siklus ovulasi normal. Pada wanita-wanita yang mendapatkan terapi hormon siklik dengan estrogen dan progestin eksogen, perdarahan akan terjadi setelah withdrawal progesteron bahkan jika terapi estrogen dilanjutkan; perdarahan withdrawal progestin dapat ditunda, namun hanya jika kadar estrogen meningkat 10-20 kali lipat.

Perdarahan Breakthrough Progesteron
Perdarahan breakthrough progesteron terjadi jika rasio progesteron terhadap estrogen sangat tinggi. Kecuali terdapat cukup estrogen untuk menyeimbangkan kerjanya, terapi kontinyu dengan progesteron eksogen atau progestin sintetik menyebabkan perdarahan intermiten dengan berbagai durasi yang biasanya ringan, suatu pola yang sangat serupa dengan perdarahan breakthrough estrogen kadar rendah yang dijelaskan di atas. Contoh-contoh klinis dari perdarahan breakthrough progesteron adalah perdarahan yang dijumpai pada wanita-wanita yang menggunakan kontrasepsi ’mini-pil’ progestin saja atau metode kontrasepsi progestin saja jangka panjang (implan progestin, depo medroksiprogesteron asetat). Perdarahan breakthrough yang dijumpai pada wanita-wanita yang menggunakan kombinasi kontrasepsi oral estrogen-progestin tersebut juga merupakan suatu bentuk perdarahan breakthrough progesteron.

Perdarahan Anovulatorik
Perdarahan anovulatorik dapat menyerupai perdarahan withdrawal estrogen. Episode terberat dari perdarahan anovulatorik cenderung terjadi pada wanita-wanita dengan kadar tinggi estrogen yang lama; wanita-wanita dengan sindroma ovarium polikistik, wanita obese, remaja post menarke, dan wanita perimenopause adalah contoh-contoh klinis yang umum.
Berlawanan dengan pola stimulasi dan withdrawal estrogen-progesteron sekuensial yang terorganisir serta dapat diprediksi, yang mengkarakterisasi siklus menstruasi ovulatorik normal, pola dari produksi hormon steroid ovarium dan stimulasi endometrium pada wanita-wanita anovulatorik tidaklah teratur dan tidak dapat diprediksi. Secara definisi, wanita anovulatorik selalu berada dalam fase folikuler dari siklus ovarium dan dalam fase proliferatif dalam siklus endometrium. Tidak ada fase luteal atau sekretorik karena tidak ada siklus. Steroid ovarium satu-satunya yang memberi sinyal penerimaan endometrium adalah estrogen, yang kadarnya berfluktuasi secara konstan, naik dan turun saat tiap kohort baru dari folikel mulai tumbuh namun akhirnya kehilangan momentum perkembangannya, cepat atau lambat, dan berubah menjadi atresia. Meskipun amplitudo sinyal dapat berubah-ubah, pesan dan pertumbuhan selalu sama.

Selama suatu periode waktu, stimulus pertumbuhan estrogen yang tidak terputus dan tidak menurun dapat menstimulasi endometrium untuk berproliferasi hingga ketinggian abnormal dimana endometrium menjadi rapuh. Tanpa pembatasan pertumbuhan dan efek pengaturan dari progesteron, endometrium tidak punya struktur stroma penopang untuk mempertahankan stabilitas. Daerah-daerah fokal mengalami kerusakan dan perdarahan, sama seperti daerah-daerah penyembuhan dalam pengaruh stimulasi estrogen kontinyu, yang lain rusak dan berdarah. Endometrium hiperplastik dan proliferatif persisten secara karakteristik menunjukkan sejumlah fokus-fokus diskret dari kerusakan stroma di dekat permukaan epitel, yang berkaitan dengan kumpulan sel-sel darah merah yang mengalami ekstravasasi, platelet kapiler/ trombus fibrin, dan perubahan-perubahan terkait perbaikan yang dikenal sebagai agregat-agregat seperti bola dari sel-sel stroma yang berkumpul ketat di bawah naungan epitel yang intak namun hipertropi. Penyebab dari kerusakan fokal dalam endometrium yang proliferatif persisten tidak sepenuhnya jelas. Namun, pertumbuhan endometrium yang abnormal tidak hanya melibatkan sel-sel epitel dan stroma namun juga mikrovaskulatur.

Kapiler-kapiler vena dalam endometrium hiperplastik dan proliferatif persisten mengalami peningkatan, dilatasi, dan seringkali membentuk saluran ireguler abnormal; studi-studi ultrastruktural telah mengungkap sejumlah elemen struktural abnormal yang menjadi predisposisi kerapuhan. Mikrovaskulatur abnormal tersebut dapat menjadi akibat, namun lebih mungkin penyebab terdekat dari perdarahan abnormal. Perdarahan anovulatorik berasal dari peningkatan densitas pembuluh darah abnormal yang punya struktur rapuh dan rentan terhadap ruptur fokal, diikuti dengan pelepasan enzim-enzim proteolitik lisosom dari sel epitel serta stroma di sekitarnya dan perpindahan lekosit serta makrofag. Jika terinisiasi, proses tersebut secara lebih lanjut diperberat oleh pelepasan lokal dari prostaglandin, dengan sensitivitas yang lebih besar terhadap yang punya efek vasodilatasi (PGE2) daripada yang vasokonstriksi (PGF2α). Vasokonstriksi dari pembuluh darah endometrium basal dan miometrium superfisial tidak terjadi karena kehilangan jaringan hanya bersifat fokal serta superfisial, dan biasanya tidak mencapai lapisan basal dimana denudasi mencetuskan respon vasokonstriksi yang intens. Mekanisme akhir yang secara normal mengendalikan perdarahan menstruasi, rekonstruksi epitel permukaan, bekerja pada endometrium yang proliferatif persisten, namun tidak dalam cara normal. Perbaikan epitel bersifat fokal, pada daerah-daerah yang rusak, tidak universal; hasilnya adalah perubahan konstan campur aduk dari perbaikan-perbaikan kecil dan bukan remodeling terorganisir serta terstruktur baik.

Definisi-definisi Tradisional
Oligomenore : interval lebih dari 35 hari.
Polimenore : interval kurang dari 24 hari.
Menoragia : interval normal reguler, aliran atau durasi berlebihan.
Metroragia : interval ireguler, aliran atau durasi berlebihan.

Diagnosis Banding
Perdarahan uterus disfungsional anovulatorik merupakan diagnosis yang dibuat dengan cara eksklusi. Penyebab paling sering dari suatu peristiwa mendadak dari pola menstruasi yang reguler dan dapat diprediksi adalah kecelakaan atau komplikasi kehamilan; aborsi insipien atau inkomplit dan kehamilan ektopik adalah yang paling sering. Kemungkinan dari kehamilan harus selalu dipertimbangkan dan dieksklusikan. Meskipun perdarahan abnormal merupakan suatu problem yang relatif sering pada pasien-pasien yang menggunakan kontrasepsi hormonal atau mendapatkan terapi hormon eksogen lain, kemungkinan dari patologi yang mendasari tidak boleh dilupakan. Perdarahan yang berkaitan dengan neoplasia uterus benigna, terutama polip serviks dan endometrium serta mioma, seringkali dikacaukan dengan perdarahan anovulatorik. Patologi lain dari traktus reproduksi yang berkaitan dengan perdarahan abnormal meliputi adenomiosis dan keganasan serviks serta endometrium. Siklus menstruasi yang abnormal kadangkala merupakan salah satu dari tanda-tanda paling awal kelainan tiroid (hipotiroidisme atau hipertiroidisme).
Kemungkinan dari suatu koagulopati harus diingat, terutama pada remaja yang riwayat menstruasinya pendek dan belum jelas. Penyebab tersering dari perdarahan uterus abnormal pada remaja adalah anovulasi, namun hingga sepertiga mungkin mengalami defek koagulasi. Kelainan-kelainan perdarahan biasanya berkaitan dengan perdarahan siklik yang berat atau lama (menoragia). Defek koagulasi tidak sejarang yang biasanya dikira dan dapat dijumpai pada 10-20% wanita dengan menoragia yang tak terjelaskan.

Evaluasi Diagnostik dari Perdarahan Abnormal
Suatu anamnesis menstruasi yang teliti merupakan sarana tunggal paling berguna dalam membedakan perdarahan anovulatorik dari penyebab-penyebab lainnya. Informasi detil mengenai interval antar menstruasi (jumlah hari, keteraturan), volume (banyak, sedikit, atau berubah-ubah), durasi (normal atau memanjang, konsisten atau berubah-ubah), onset menstruasi abnormal (perimenarke, tiba-tiba, bertahap), hubungan temporal (paska koitus, postpartum, pasca konsumsi pil, penambahan atau penurunan berat badan), gejala-gejala terkait (molimina premenstruasi, dismenore, dispareuni, galaktore, hirsutisme), penyakit sistemik yang mendasari (ginjal, hati, hematopoietik, tiroid), serta obat-obatan (hormonal, antikoagulan) dapat memberikan petunjuk-petunjuk penting dan membantu dalam menentukan secara cepat apakah evaluasi tambahan diperlukan sebelum terapi dimulai. Pemeriksaan fisik harus menyingkirkan lesi vaginal atau servikal yang dapat dilihat dan menentukan ukuran (normal atau membesar), kontur (lembut dan simetris atau ireguler), konsistensi (keras atau lunak), serta perlunakan uterus.
Pada mayoritas wanita dengan perdarahan anovulatorik sebenarnya, riwayat menstruasi saja dapat menegakkan diagnosis dengan tingkat kepercayaan yang cukup hingga terapi dapat dimulai tanpa evaluasi laboratorik tambahan. Perdarahan menstruasi yang jarang, ireguler, tidak dapat diprediksi, berubah-ubah jumlah, durasi, dan karakternya, serta tidak didahului oleh suatu pola molimina premenstruasi yang konsisten atau dapat dikenali biasanya tidak sulit diinterpretasi. Secara berlawanan, periode bulanan yang teratur, banyak atau lama lebih cenderung berkaitan dengan suatu lesi anatomik atau kelainan perdarahan selain anovulasi.
Tes-tes laboratorium dapat membantu namun tidak selalu diperlukan. Suatu tes kehamilan yang sensitif dapat secara cepat menyingkirkan kemungkinan realistik bahwa perdarahan tersebut berkaitan dengan suatu kecelakaan atau komplikasi dari kehamilan. Pemeriksaan darah lengkap untuk menyingkirkan anemia dan trombositopenia diperlukan pada wanita-wanita dengan riwayat perdarahan yang sangat banyak atau lama. Penentuan progesteron serum yang tepat dimana harusnya terjadi fase luteal dari siklus dapat membantu menentukan ovulasi atau anovulasi, jika terjadi keraguan; nilai lebih besar daripada 3 ng/mL memberikan bukti andal bahwa ovulasi baru-baru ini telah terjadi. Namun, jika episode perdarahan sering atau tidak diketahui secara jelas, penentuan tepat untuk pemeriksaan progesteron mungkin sulit. Pada wanita-wanita anovulatorik, kadar hormon stimulasi tiroid (TSH) serum dapat secara cepat menyingkirkan hubungan dengan kelainan tiroid. Pada remaja, mereka dengan kecurigaan riwayat keluarga atau pribadi, dan mereka dengan menoragia yang tidak terjelaskan, kecurigaan terhadap suatu kelainan perdarahan. Pemeriksaan kofaktor ristocetin untuk fungsi faktor Von Willebrand mungkin merupakan tes skrining tunggal terbaik untuk penyakit Von Willebrand. Tes fungsi hati atau ginjal hanya diindikasikan untuk mereka dengan penyakit yang jelas atau kecurigaan kuat terhadap penyakit tersebut.
Biopsi aspirasi klinik dapat menyingkirkan hiperplasia atau kanker endometrium. Usia 40 tahun dan selebihnya merupakan faktor risiko yang jelas untuk penyakit endometrium dan secara luas ditetapkan sebagai suatu indikasi biopsi pada wanita-wanita dengan perdarahan abnormal. Hiperplasia dan kanker endometrium lebih sering dideteksi pada wanita-wanita lebih tua daripada wanita-wanita lebih muda, namun durasi paparan terhadap stimulasi estrogen tanpa rintangan merupakan faktor risiko yang lebih penting. Pada wanita-wanita premenopause, kecenderungan untuk histologi endometrium yang abnormal relatif tinggi (14%) jika menstruasi tidak teratur namun sangat rendah (kurang dari 1%) jika siklus reguler. Selain mengungkap penyakit endometrium intrinsik, biopsi dapat membantu mengarahkan evalusi lebih lanjut atau menuntun pilihan terapi pada wanita-wanita dengan riwayat perdarahan abnormal yang membingungkan.
Pemeriksaan ultrasonografi transvaginal standar dapat memberikan informasi akurat mengenai ukuran dan lokasi dari tiap fibroid uterus yang dapat menjelaskan perdarahan abnormal atau mengetahui lebih lanjut perdarahan karena penyebab lain. Ultrasonografi dapat menunjukkan suatu lesi kaviter nyata atau ‘alur’ endometrium yang tipis atau tebal secara abnormal. Suatu alur endometrium yang amat tipis (kurang dari 5 mm), seperti suatu biopsi yang membawa sedikit atau tanpa jaringan, menunjukkan suatu endometrium yang menipis atau gundul, yang mula-mula paling baik diterapi dengan estrogen daripada progestin atau kombinasi estrogen-progestin (dibahas lebih lanjut). Pada wanita perimenopause dan postmenopause dengan perdarahan abnormal, biopsi endometrium secara luas dianggap tidak perlu jika ketebalan endometrium kurang dari 4 atau 5 mm karena risiko untuk hiperplasia atau kanker endometrium. Keputusan untuk biopsi atau tidak harus didasarkan secara primer pada kecurigaan klinis dan faktor-faktor risiko daripada pemeriksaan ultrasonografi dari ketebalan endometrium. Ini tidak berarti bahwa ketebalan endometrium tidak membawa keputusan apakah dilakukan suatu biopsi atau tidak; peningkatan ketebalan endometrium secara nyata (lebih dari 12 mm) memperbesar risiko penyakit dan merupakan indikasi untuk pengambilan sampel, bahkan jika kecurigaan patologi secara klinis rendah.
Sonohisterografi, yang melibatkan ultrasonografi transvaginal selama atau setelah pemberian salin steril dengan berbagai macam kateter yang tersedia (juga dikenal sebagai hidrosonografi dan sonografi infus salin) secara tajam menentukan kontur kavitas dan secara cepat menunjukkan bahkan lesi intrauterin kecil sekalipun; sensitivitas dan spesifisitas dari sonohisterografi melebihi ultrasonografi transvaginal standar dan cukup sebanding dengan histeroskopi. Kombinasi sonohisterografi dan biopsi endometrium memberikan sensitivitas yang tinggi dan nilai prediktif negatif yang tinggi untuk deteksi patologi endometrium dan uterus pada wanita-wanita dengan perdarahan abnormal.
Histeroskopi merupakan metode definitif untuk diagnosis maupun terapi patologi intrauterin simtomatik namun secara jelas juga paling invasif. Secara tradisional, histeroskopi telah dicadangkan untuk terapi penyakit yang diidentifikasi oleh beberapa metode kurang invasif lainnya, namun histerokop operatif modern yang berdiameter luar 2 atau 3 mm saat ini memungkinkan diagnostik dan prosedur operatif minor dilakukan dalam kondisi klinis.

Secara umum, imejing diagnostik uterus dapat dicadangkan untuk wanita-wanita dimana riwayat menstruasi atau hasil dari evaluasi lain memberikan bukti kuat
· Siklus bulanan teratur dengan peningkatan volume atau durasi perdarahan.
· Siklus bulanan teratur disertai dengan perdarahan antar menstruasi tanpa adanya lesi vaginal atau servikal.
· Perdarahan abnormal meskipun ada bukti objektif ovulasi dari pemeriksaan progesteron serum (lebih dari 3 ng/mL) atau dari biopsi endometrium (endometrium sekretorik).
· Kegagalan penatalaksanaan medis empiris.
Jika perdarahan menetap meskipun telah dilakukan penatalaksanaan medis empiris secara tepat, evaluasi diagnostik lebih lanjut cenderung lebih produktif daripada rejimen terapi medis dengan dosis lebih besar atau berbeda.

Terapi dari Perdarahan Anovulatorik
Tujuan segera dari terapi medis untuk perdarahan anovulatorik adalah untuk mengembalikan atau menginduksi mekanisme pengendalian alamiah yang tidak bekerja – secara urut, pertumbuhan sinkron, perkembangan, dan pergantian endometrium yang secara struktural stabil. Karena progesteron bersifat dominan dan mengendalikan pengaruh dalam siklus menstruasi normal, progestin merupakan pilihan terapi utama untuk perdarahan anovulatorik.

Terapi Progestin
Gambaran klinis biasa adalah oligomenorea dengan episode perdarahan banyak atau lama. Dalam sebagian besar kondisi, terapi progestin akan mengendalikan perdarahan anovulatorik jika patologi uterus telah disingkirkan. Pada wanita-wanita yang tidak mengalami ovulasi namun secara nyata tidak hipogonadal, terapi progestin siklik mengembalikan rangkaian normal dari stimulasi hormon steroid endometrium – estrogen, diikuti dengan estrogen ditambah progesteron, diikuti dengan penghentian.
Progestin merupakan antiestrogen kuat. Progestin menstimulasi aktivitas 17β-hidroksisteroid dehidrogenase dan sulfotransferase, enzim-enzim yang bekerja bersama-sama untuk mengubah estradiol menjadi estrone sulfat (yang segera dibersihkan dari tubuh). Progestin secara lebih lanjut menghambat kerja estrogen dengan menginhibisi induksi estrogen dari reseptornya (penambahan reseptor estrogen). Progestin juga mensupresi transkripsi onkogen yang diperantarai estrogen. Secara bersama-sama, kerja ini menjelaskan pengaruh pembatasan pertumbuhan, antimitotik dari progesteron dan progestin terhadap endometrium (pencegahan dan pembalikan hiperplasia, penghentian pertumbuhan selama fase sekretorik siklus, dan perubahan nyata selama kehamilan atau terapi dengan kombinasi kontrasepsi estrogen-progestin).
Terapi siklik menggunakan progestin yang aktif secara oral seperti medroksiprogesteron asetat (5-10 mg perhari selama 2 minggu setiap bulan). Interval dari terapi progestin dapat ditetapkan menurut kalender (dimulai pada hari pertama setiap bulan) atau onset menstruasi (dimulai 15-16 hari setelah onset menstruasi terakhir yang disebabkan progestin); hal tersebut tidak menjadi masalah dan bekerja dengan baik. Jika menstruasi tidak mengikuti penghentian progestin, kemungkinan dari disfungsi ovulatorik yang lebih nyata berkaitan dengan kadar estrogen yang amat rendah harus dipertimbangkan dan evaluasi tambahan diindikasikan. Terapi progestin murni siklik biasanya bekerja dengan baik pada wanita-wanita yang anovulatorik secara penuh.

Pada wanita-wanita anovulatorik dengan metroragia atau polimenorea, terapi progestin selama 14 hari dapat menginduksi kestabilan perubahan predesidual dalam endometrium vaskuler dan rapuh, dan setelah penghentian, mencapai yang disebut ’kuretase medis’. Setelah itu, terapi progestin siklik standar atau suatu kontrasepsi estrogen-progestin dapat diberikan untuk penatalaksanaan jangka panjang. Kegagalan terapi progestin membutuhkan evaluasi diagnostik lebih lanjut.

Terapi Kontrasepsi Oral
Pemanjangan episode perdarahan anovulatorik yang banyak biasanya paling baik diterapi dengan terapi kombinasi estrogen-progestin dalam bentuk kontrasepsi oral kombinasi. Setiap kontrasepsi oral kombinasi monofasik dosis rendah dapat digunakan (satu pil dua kali sehari), namun terapi harus dilanjutkan selama paling tidak 5-7 hari meskipun perdarahan secara jelas telah berkurang atau berhenti, seperti yang diharapkan terjadi dalam 24-48 jam. Jika tersedia, suatu pemeriksaan ultrasonografi transvaginal saat atau sebelum terapi dimulai dapat membantu mengkonfirmasi kesan diagnostik (secara seragam peningkatan ketebalan endometrium) dan meminimalkan risiko ketidakberhasilan terapi dengan kehilangan darah banyak terus menerus. Jika kontrasepsi oral tidak dapat digunakan, terapi progestin dapat diganti, namun dosis lebih besar (medroksiprogesteron asetat 20 mg atau noretindrone asetat 5 mg perhari) biasanya dibutuhkan. Dengan salah satu terapi kontrasepsi oral atau progestin murni, evaluasi diagnostik lebih lanjut diindikasikan jika terapi tidak berhasil.
Jika terapi berhasil dan aliran berkurang secara cepat, perhatian dapat diubah ke arah evaluasi penyebab anovulasi, kemungkinan dari suatu kelainan perdarahan, dan terapi untuk anemia terkait. Untuk jangka pendek, perubahan-perubahan desidua yang diinduksi oleh terapi memberikan beberapa stabilitas struktural dan menghentikan pemecahan acak lebih lanjut dari suatu endometrium yang berkembang berlebihan, vaskuler, dan rapuh, namun jumlah substansial dari jaringan tetap diganti selama penghentian estrogen-progestin. Jika tidak diingatkan untuk mengantisipasi menstruasi yang banyak dan peningkatan dismenorea yang cenderung terjadi dalam 2-4 hari setelah terapi dihentikan, kebanyakan wanita akan menginterpretasi pengalaman tersebut sebagai lebih buruk dari sebelumnya dan sebagai kegagalan terapi hormonal.
Setelah menstruasi yang mengikuti penghentian estrogen-progestin, terapi rumatan dengan kontrasepsi kombinasi estrogen-progestin dosis rendah siklik standar dapat dimulai. Penurunan bertahap namun tetap dalam volume dan durasi aliran serta dismenorea terkait dengan tiap siklus berturut-turut dapat diharapkan dan dipastikan kembali. Pada wanita dengan uterus normal, kontrasepsi oral mengurangi aliran menstruasi sebanyak paling sedikit 60% dari aliran pada siklus alamiah. Kecuali terapi dengan kontrasepsi estrogen-progestin atau progestin siklik (pada wanita yang tidak membutuhkan kontrasepsi) dilanjutkan atau patofisiologi yang bertanggungjawab untuk menyebabkan anovulasi kronik dikoreksi.
Depot-medroksiprogesteron asetat (Depo-Provera) dalam dosis yang digunakan untuk kontrasepsi, 150 mg intramuskuler setiap 3 bulan, dapat menjadi suatu pilihan berguna untuk terapi rumatan pada wanita-wanita yang mengalami kesulitan atau tidak dapat menggunakan kontrasepsi estrogen-progestin, namun pengobatan tersebut tidak punya tempat dalam penatalaksanaan akut perdarahan abnormal. Sekali diberikan, obat tersebut tidak dapat dihentikan, dan jika tidak berhasil, pengaruhnya dapat sulit diatasi.

Terapi Estrogen
Spotting vagina intermiten seringkali berkaitan dengan kadar stimulasi estrogen yang agak rendah atau amat rendah (perdarahan breakthrough estrogen). Dalam kondisi-kondisi seperti ini, endometrium biasanya sangat tipis dan pengaruh menguntungkan dari terapi progestin tidak dapat dicapai karena kadar estrogen tidak cukup untuk menstimulasi pertumbuhan yang berperan sebagai dasar kerja progestin; efek pembatasan pertumbuhan dari progestin tidak membantu dan mungkin secara lebih lanjut menambah masalah tersebut. Pada salah satu kasus, terapi estrogen merupakan langkah terapi inisial yang paling efektif.
Perdarahan lama dan banyak paling sering berkaitan dengan endometrium tebal serta rapuh yang paling baik diterapi dengan kontrasepsi oral atau progestin, namun hal tersebut juga dapat menyebabkan endometrium amat tipis dan gundul, dimana pendekatan berlawanan terhadap terapi tersebut, yaitu estrogen dosis tinggi, merupakan langkah inisial terbaik. Dalam kondisi-kondisi seperti itu, ultrasonografi transvaginal dapat membantu menuntun pilihan terapi dengan cara menentukan ketebalan endometrium dan juga mengungkap adanya abnormalitas anatomik dari kavitas uterus yang mungkin bertanggungjawab.
Jika endometrium mengalami penipisan atau sangat gundul dan perdarahan bersifat akut serta banyak, terapi estrogen dosis tinggi harus diberikan. Pada mereka yang perdarahannya perlu dirawat inap untuk terapi dan observasi seksama, terapi estrogen intravena (estrogen konjugasi kuda 25 mg setiap 4 jam sampai perdarahan berhenti atau selama 24 jam) dapat menjadi sangat efektif. Mekanisme kerja yang bertanggungjawab untuk efikasi estrogen intravena masih belum jelas namun telah dikaitkan terhadap stimulasi pembekuan darah pada tingkat kapiler. Jika perdarahan kurang gawat namun masih cukup banyak, terapi estrogen oral dosis tinggi (estrogen konjugasi 1,25 mg atau estradiol micronized 2,0 mg setiap 4-6 jam selama 24 jam) pada umumnya efektif, kemudian diturunkan perlahan hingga dosis sekali sehari selama 7-10 hari lagi setelah perdarahan dapat dikendalikan. Gangguan perdarahan intermiten yang kurang akut atau lebih ringan biasanya memberikan respon baik dengan dosis tunggal harian (estrogen konjugasi 1,25 mg atau estradiol micronized 2,0 mg selama 7-10 hari). Untuk hasil paling baik, semua terapi estrogen inisial itu harus diikuti dengan terapi progestin atau kontrasepsi estrogen-progestin untuk menstabilkan pertumbuhan endometrium yang distimulasi estrogen.
Meskipun mekanismenya berbeda, spotting ringan, noda, atau perdarahan yang dapat terjadi, dalam beberapa hal serupa dengan tipe perdarahan breakthrough estrogen yang dijumpai pada wanita-wanita dengan kadar estrogen sirkulasi agak rendah atau amat rendah.
Salah satu riwayat klinis umum melibatkan kontrasepsi oral jangka panjang, aliran menstruasi yang jelas berkurang atau tidak ada selama minggu bebas pil, dan episode perdarahan breakthrough pada waktu lain. Penyakit sporadik dari perdarahan breakthrough progesteron juga sering dijumpai pada wanita-wanita yang mendapatkan terapi progestin depo (Depo-Provera) untuk kontrasepsi, endometriosis, atau supresi menstruasi selama kemoterapi. Pola yang sama sering dijumpai diantara wanita-wanita yang menggunakan implan progestin untuk kontrasepsi. Pada semua skenario tersebut, suatu interval pendek dari penambahan estrogen (estrogen konjugasi 1,25 mg atau estradiol micronized 2,0 mg tiap hari selama 7-10 hari) pada umumnya sangat efektif. Pada beberapa wanita, problem tersebut sering terjadi kembali atau menetap. Dosis yang lebih besar, durasi yang lebih lama, atau pemberian berulang dari terapi estrogen kadangkala diperlukan. Jika terapi gagal, evaluasi lebih lanjut dengan ultrasonografi transvaginal atau sonohisterografi dapat menyingkirkan kemungkinan dari polip endometrium atau mioma submukosa yang sebelumnya tidak diketahui. Secara jarang, hanya pengosongan cepat dalam terapi kontrasepsi oral atau progestin depo yang akan menyelesaikan masalah tersebut.

Terapi Estrogen dan Risiko Tromboemboli. Dosis tinggi dari estrogen berkaitan dengan suatu peningkatan risiko untuk terjadinya tromboemboli. Lebih dari satu pil kontrasepsi oral perhari atau beberapa dosis estrogen oral atau intravena dalam interval tunggal 24 jam harus dipertimbangkan sebagai dosis tinggi. Secara umum, estrogen dosis rendah selama interval waktu yang pendek secara relatif memberikan risiko yang lebih kecil, bahkan pada wanita-wanita dengan gaya hidup atau riwayat medis yang mengarah pada peningkatan risiko trombosis. Namun, pada wanita-wanita dengan episode trombosis di masa lampau atau riwayat keluarga tromboemboli vena idiopatik, paparan estrogen dosis tinggi sebaiknya dihindari.

Dilatasi dan Kuretase
Pada wanita yang secara hemodinamik tidak stabil, resusitasi cairan dan dilatasi serta kuretase operatif merupakan cara paling tepat guna dan efektif untuk menghentikan perdarahan uterus akut yang tidak dapat dikendalikan tanpa adanya patologi organik yang tampak. Mekanisme pengaruh dari kuretase tidak seluruhnya jelas namun denudasi secara bedah terhadap lapisan basal endometrium diduga secara akut menstimulasi semua proses normal yang terlibat dalam berhentinya perdarahan menstruasi normal – mekanisme pembekuan darah lokal, vasokonstriksi arteriol-arteriol basal, dan reepitelisasi cepat.

Hiperplasia dan Neoplasia Endometrium
Beberapa orang telah mengemukakan bahwa istilah hiperplasia endometrium sebaiknya digunakan untuk mendeskripsikan lesi tanpa atipia dan lebih memilih istilah neoplasia intraepitelial endometrium untuk mendeskripsikan lesi-lesi yang menunjukkan atipia inti pada sel-sel yang membatasi kelenjar endometrium (pembesaran, pembulatan, dan pleomorfisme, aneuploidi). Secara berlawanan, penyakit endometrium yang melibatkan atipia sitologik menunjukkan sifat yang seluruhnya berbeda; abnormalitas tersebut tidak sering mengalami regresi spontan, mungkin cukup resisten terhadap kuretase berulang atau terapi progestasional dosis tinggi yang lama, memiliki risiko signifikan (10-30%) untuk berkembang menjadi adenokarsinoma jika tidak diterapi, sehingga harus dianggap sebagai lesi prekanker.
Hiperplasia endometrium biasa tanpa atipia dapat dikoreksi dengan menggunakan rejimen-rejimen terapi yang serupa dengan yang direkomendasikan untuk penatalaksanaan perdarahan anovulatorik pada wanita anovulatorik oligomenore – terapi progestin siklik (medroksiprogesteron asetat 10 mg perhari atau noretindrone asetat 5 mg perhari selama 14 hari) atau bahkan kontrasepsi oral.
Hiperplasia dengan atipia paling baik diterapi secara bedah.. Resistensi dari lesi-lesi atipik terhadap terapi progestin harusnya tidak mengejutkan karena atipia inti menunjukkan suatu derajat dediferensiasi seluler. Wanita-wanita yang berespon terhadap penatalaksanaan medis harus didukung untuk mendapatkan kehamilan pada waktu seawal mungkin dan harus diawasi secara teliti karena rekurensi tidak jarang terjadi.

Perdarahan Abnormal dari Penyebab-penyebab Lain
Tidak semua perdarahan menstruasi yang banyak atau lama, ireguler atau abnormal berkaitan dengan anovulasi. Anamnesis dan pemeriksaan fisik biasanya merupakan semua yang diperlukan untuk menyingkirkan trauma dan benda asing. Dengan beberapa pengecualian (produk konsepsi non viabel yang menetap), komplikasi kehamilan mudah disingkirkan dengan suatu tes kehamilan sederhana. Biopsi serviks untuk lesi yang dicurigai dan biopsi endometrium pada wanita-wanita dengan faktor risiko untuk kanker endometrium menghilangkan keganasan saluran reproduksi sebagai suatu kemungkinan. Diagnosis banding dari perdarahan abnormal pada wanita-wanita ovulatorik dan wanita-wanita anovulatorik yang gagal dengan terapi hormonal yang sesuai dititikberatkan pada beberapa kemungkinan utama: endometritis kronik, leiomiomata uterus, polip endometrium, adenomiosis, dan kelainan perdarahan.

Obat-obat Anti Inflamasi Non Steroid
Terdapat sedikit pertanyaan bahwa prostagladin (PG) memiliki kerja penting pada vaskulatur endometrium dan dalam hemostasis endometrium. Konsentrasi PGE2 dan PGF2α meningkat secara progresif pada endometrium manusia selama siklus menstruasi dan dijumpai dalam konsentrasi tinggi pada endometrium menstruasi. Obat-obat anti inflamasi non steroid (NSAID) menghambat sintesis PG dan mengurangi kehilangan darah menstruasi. NSAID juga dapat mempengaruhi keseimbangan antara tromboksan A2 (suatu vasokonstriktor dan promoter dari agregasi platelet) dan prostasiklin (PGI2) (suatu vasodilator dan inhibitor dari agregasi platelet).
Meskipun mekanisme pasti yang terlibat belum jelas, NSAID mengurangi perdarahan menstruasi normal dan peningkatan perdarahan yang berkaitan dengan penggunaan IUD. Secara umum, terapi NSAID mengurangi kehilangan darah kira-kira sebanyak 20-40% dan lebih besar lagi pada mereka yang mengalami perdarahan eksesif. Naproksen dan asam mefenamat merupakan NSAID yang diteliti paling ekstensif, namun tidak ada anggota golongan yang memberikan keuntungan jelas. Terapi dengan NSAID mungkin dianggap terapi lini pertama untuk wanita-wanita ovulatorik dengan perdarahan menstruasi yang banyak dan tidak ada patologi yang dapat ditunjukkan. Efek samping sedikit karena terapi terbatas, biasanya dimulai pada onset perdarahan dan dilanjutkan selama 3-5 hari sesuai keperluan. NSAID memberikan tambahan keuntungan dalam peredaan dismenorea, bahkan jika menstruasi normal.

Kontrasepsi Oral
Kontrasepsi oral dapat digunakan untuk mengurangi kehilangan darah menstruasi pada wanita-wanita ovulatorik dengan perdarahan menstruasi berat, tanpa memperhitungkan apakah menoragia-nya berkaitan dengan patologi (mioma, adenomiosis) atau tidak terjelaskan. Pada wanita-wanita dengan menoragia yang tidak terjelaskan, kontrasepsi oral dapat diharapkan mengurangi perdarahan kira-kira sebesar 40%.

IUD Levonorgestrel
IUD pelepas levonorgestrel (LNG) (Mirena) diajukan untuk digunakan di Amerika Serikat pada tahun 2000; IUD pelepas progestin lain satu-satunya yang tersedia di AS mengandung progesteron (Progestasert) dan secara sengaja ditarik dari pasaran pada tahun 2001. IUD-LNG tersebut mempunyai reservoir yang mengandung LNG 52 mg dicampur dengan polidimetilsiloksan yang mengendalikan kecepatan pelepasan hormon. Untuk tujuan kontrasepsi, alat tersebut dapat ditempatkan selama 10 tahun.

Agonis Hormon Pelepas Gonadotropin
Terapi dengan suatu agonis hormon pelepas gonadotropin (GnRHa) dapat mencapai peredaan jangka pendek dari suatu problem perdarahan dan telah digunakan secara efektif sebagai suatu tambahan preoperatif pada wanita-wanita yang menunggu pembedahan konservatif (miomektomi, ablasi endometrium) atau definitif (histerektomi) untuk perdarahan abnormal.
Terapi GnRHa juga berguna dalam penatalaksanaan perdarahan menstruasi abnormal yang mungkin mengikuti transplantasi organ dimana toksisitas dari obat imunosupresan membuat steroid seks kurang dikehendaki. Namun, kerugian dan efek samping yang diakibatkan oleh defisiensi estrogen (hot flush, deplesi mineral tulang) membuat GnRHa sebagai suatu langkah terapi jangka panjang yang tidak menarik dari perdarahan abnormal.

Langkah-langkah Terapi Medis Lain
Bukti dari sejumlah studi-studi kecil menunjukkan bahwa danazol (200 mg perhari) lebih efektif daripada NSAID, progestin, dan kontrasepsi oral untuk terapi perdarahan menstruasi yang banyak, namun terapi jangka panjang dibutuhkan dan berkaitan dengan efek samping androgenik yang membuatnya tidak dapat diterima oleh kebanyakan wanita.
Asam traneksamat merupakan suatu agen antifibrinolitik yang digunakan secara luas di Eropa untuk terapi menoragia. Obat tersebut lebih efektif daripada terapi NSAID, namun dosis yang lebih besar (2-6 gm perhari) diperlukan dan insidensi efek samping gastrointestinal serta perdarahan antar menstruasi relatif tinggi.

Ablasi Endometrium
Perdarahan persisten meskipun telah dilakukan terapi menjadi perhatian dan membuat frustrasi. Histerektomi adalah pilihan yang tepat untuk beberapa hal, namun banyak orang lebih memilih untuk menghindari operasi mayor jika mungkin, dan beberapa lainnya masih memiliki syarat yang membuatnya menjadi kandidat yang buruk untuk pembedahan mayor. Ablasi endometrium adalah pilihan lain yang sedang bertambah popularitasnya untuk penatalaksanaan menoragia yang tidak terjelaskan saat terapi medis ditolak, tidak berhasil, atau ditoleransi buruk.
Teknik-teknik yang berbiaya lebih rendah dikembangkan menggunakan alat-alat bedah elektrik (loop resektoskopik, roller ball). Sejumlah penelitian terkontrol acak telah membandingkan ablasi endometrium elektrosurgikal histeroskopik dengan histerektomi sebagai terapi bedah untuk perdarahan menstruasi berat. Secara total, histerektomi mencakup waktu operasi dan pemulihan yang lebih lama, risiko komplikasi yang lebih tinggi, dan biaya yang lebih besar, namun memberikan suatu solusi permanen serta perlunya reterapi pada banyak wanita setelah ablasi mempersempit perbedaan biaya seiring dengan waktu. Angka kepuasan dengan kedua prosedur adalah tinggi.
Sejumlah teknik yang lebih baru untuk ablasi endometrium baru-baru ini telah dikembangkan; kebanyakan tidak membutuhkan histeroskopi. Pendekatan histeroskopik baru meliputi suatu elektroda vaporisasi bipoler dan suatu teknik hidrotermal. Tersedia dua sarana balon berbeda, satu yang mensirkulasi air panas (87° ± 5°C) di dalam balon dan yang lain menggunakan elektroda pada permukaan luar serta destruksi termal yang diinduksi radiofrekuensi. Metode lain meliputi suatu elektroda mesh pelat emas yang disesuaikan dengan rongga uterus dan ablasi termal radiofrekuensi bipoler. Beberapa masih menggunakan teknologi gelombang mikro, laser, dan bedah beku.
Diantara para wanita dengan menoragia yang menjalani suatu prosedur ablasi endometrium, 80-90% melaporkan pengurangan perdarahan, 25-50% mengalami amenorea, 70-80% melaporkan lebih sedikit nyeri menstruasi, 75-90% puas dengan hasil pembedahan, dan 80% tidak membutuhkan pembedahan tambahan hingga 5 tahun setelah ablasi. Dengan teknik histeroskopik maupun non histeroskopik, hasil pada umumnya lebih baik jika ablasi dilakukan selama fase folikuler awal dan setelah endometrium mula-mula ditipiskan selama 4-6 minggu menggunakan terapi progestin, danazol, atau GnRHa. Data komparatif yang ada menunjukkan bahwa terapi GnRHa dapat memberikan hasil yang lebih konsisten daripada danazol, namun keduanya menghasilkan hasil yang memuaskan. Penipisan endometrium preliminer memperbaiki hasil jangka pendek, namun dampaknya terhadap insidensi amenorea dengan jangka lebih panjang dan kebutuhan untuk pembedahan lebih lanjut masih kurang jelas. Meskipun risiko yang lebih rendah, komplikasi yang lebih sedikit, dan pemulihan yang lebih cepat berkaitan dengan ablasi endometrium, wanita-wanita yang diterapi dengan histerektomi cenderung lebih memuaskan hasilnya.




Ringkasan Prinsip-prinsip Klinis

Remaja
Dewasa
Preliminer:
Preliminer:
Pemeriksaan pelvis atau rektal
Pemeriksaan pelvis
Singkirkan kehamilan
PAP smear
Tes laboratorium yang sesuai
Singkirkan kehamilan

Tes laboratorium yang sesuai

Biopsi endometrium

· Penyebab paling sering dari kejadian mendadak pola menstruasi yang dapat diprediksi merupakan kecelakaan atau komplikasi kehamilan.
· Perdarahan anovulatorik biasanya ireguler, tidak frekuen, dan tidak dapat diprediksi; variasi dalam jumlah, durasi, dan karakter; dan paling sering dijumpai pada remaja serta wanita-wanita tua, obese, dan wanita-wanita dengan gambaran klinis sindroma ovarium polikistik.
· Periode reguler dan dapat diprediksi namun semakin banyak atau lama atau onset baru dari perdarahan antar menstruasi episodik lebih sering disebabkan dari abnormalitas anatomik daripada anovulasi.
· Menoragia dari menarke, episode perdarahan eksesif di masa lampau akibat trauma atau pembedahan, dan perdarahan menstruasi berat yang tidak terjelaskan menunjukkan kemungkinan suatu kelainan perdarahan. Kelainan perdarahan lebih sering terjadi daripada yang biasanya diduga; tes koagulasi skrining diindikasikan untuk para remaja dengan menoragia sejak menarke dan untuk wanita-wanita dengan perdarahan menstruasi berat atau lama yang tidak terjelaskan.
· Jika riwayat klinis dan pemeriksaan secara jelas menunjuk pada perdarahan anovulatorik, terapi medis empirik dapat diberikan tanpa evaluasi laboratorium atau imejing tambahan. Namun, suatu tes kehamilan dan pemeriksaan darah lengkap selalu masuk akal dan bijaksana.
· Penentuan progesteron serum yang tepat waktu dapat membantu mengkonfirmasi diagnosis perdarahan anovulatorik jika terjadi keraguan. TSH dapat menyingkirkan kelainan-kelainan tiroid pada wanita-wanita anovulatorik. Tes fungsi hati atau ginjal hanya diindikasikan untuk mereka dengan penyakit yang telah diketahui atau diduga kuat saja.
· Biopsi endometrium harus dipertimbangkan secara serius sebelum terapi dimulai jika riwayat klinis mengarah pada paparan estrogen tanpa rintangan jangka panjang, tanpa memperhitungkan usia, namun tidak diperlukan jika endometrium sangat tipis (kurang dari 5 mm). Biopsi endometrium sebaiknya dilakukan jika endometrium menebal tidak normal (lebih dari 12 mm), bahkan jika kecurigaan klinis terhadap penyakit rendah.
· Imejing uterus dengan ultrasonografi atau sonohisterografi sebaiknya dilakukan jika pemeriksaan mengungkap adanya ukuran atau kontur uterus yang tidak normal, jika riwayat (siklus reguler dari peningkatan volume atau durasi, onset baru perdarahan antar menstruasi), tes laboratorium (progesteron serum lebih dari 3 ng/mL), atau hasil biopsi (endometrium sekretorik) memberikan bukti objektif dari ovulasi, dan jika terapi medis empirik gagal.
· Kombinasi sonohisterografi dan biopsi endometrium memberikan sensitivitas yang tinggi dan nilai prediktif negatif yang tinggi untuk deteksi patologi endometrium dan uterus pada wanita-wanita dengan perdarahan abnormal.
· Terapi progestin siklik merupakan terapi yang sesuai untuk wanita-wanita anovulatorik oligomenore dengan perdarahan abnormal episodik yang tidak perlu kontrasepsi, namun kontrasepsi estrogen-progestin merupakan pilihan yang lebih baik.
· Wanita-wanita dengan episode lama dari perdarahan anovulatorik yang banyak biasanya paling baik diterapi dengan kontrasepsi oral, mula-mula secara intensif (satu pil dua kali sehari selama 5-7 hari), kemudian diturunkan perlahan hingga rejimen pil kontrasepsi oral siklik standar. Dalam kondisi-kondisi seperti ini, jika tersedia, imejing ultrasonografi dapat membantu menentukan pilihan terapi dengan menetapkan ketebalan endometrium dan mengungkap abnormalitas anatomik yang jelas dan tidak dicurigai. Kegagalan penatalaksanaan medis merupakan indikasi untuk evaluasi lebih lanjut.
· Terapi estrogen merupakan pilihan terapi inisial terbaik jika endometrium yang gundul atau tipis sangat dicurigai atau dibuktikan. Contoh-contoh klinis meliputi wanita-wanita dimana biopsi memberikan sedikit jaringan, wanita-wanita yang mendapatkan terapi progestin kronik, dan wanita-wanita dengan perdarahan berat serta lama yang memiliki alur endometrium tipis. Kegagalan penatalaksanaan medis merupakan indikasi untuk evaluasi lebih lanjut.
· Kuretase endometrium harus dilakukan jika perdarahan akut dan membutuhkan tindakan segera atau kegagalan untuk berespon secara cepat terhadap terapi medis intensif. Histeroskopi pada waktu kuretase membantu memastikan suatu diagnosis yang akurat.
· Hiperplasia endometrium tanpa atipia sitologik merupakan bentuk eksagerasi dari endometrium proliferatif persisten yang ditimbulkan dari stimulasi estrogen tanpa rintangan jangka panjang pada wanita-wanita dengan anovulasi kronik. Dengan pengecualian yang jarang, lesi tersebut dapat diterapi secara efektif dengan terapi progestin siklik atau kontrasepsi estrogen-progestin.
· Hiperplasia endometrium dengan atipia sitologik merupakan suatu lesi prekanker yang paling baik diterapi secara bedah kecuali pada wanita-wanita yang ingin mempertahankan potensi reproduksinya. Penatalaksanaan medis terhadap hiperplasia endometrium atipik membutuhkan terapi progestin dengan dosis tinggi dan durasi lebih lama, biopsi endometrium serial untuk me-monitor respon, dan surveilans ketat berjangka lebih lama.
· Leiomioma uteri sangatlah sering terjadi dan tidak dapat dianggap sebagai penyebab perdarahan abnormal sebelum kemungkinan-kemungkinan lain disingkirkan, terutama jika tidak menonjol ke dalam atau menggeser rongga uterus. Sonohisterografi secara jelas menentukan batas mioma terhadap rongga uterus dan membantu membedakan mioma yang relevan secara klinis dari yang tidak.
· NSAID, kontrasepsi estrogen-progestin, dan IUD-LNG dapat menjadi pilihan terapi medis yang efektif untuk penatalaksanaan perdarahan menstruasi berat pada wanita-wanita anovulatorik dengan adenomiosis, pembesaran rongga global yang berkaitan dengan leiomioma intramural multipel, dan menoragia yang tidak terjelaskan.
· Ablasi endometrium menggunakan teknik-teknik histeroskopik atau non histeroskopik merupakan suatu alternatif yang efektif dari histerektomi untuk penatalaksanaan perdarahan menstruasi berat yang abnormal jika terapi-terapi medis ditolak, tidak berhasil, atau ditoleransi buruk.

HIRSUTISM

1. Pendahuluan

Pertumbuhan rambut yang berlebihan pada wanita telah menjadi perhatian para klinisi sejak lama. Beberapa istilah digunakan untuk menjelaskan kelainan tersebut. Hirsutisme digunakan untuk menjelaskan adanya pertumbuhan rambut yang berlebihan pada tempat-tempat yang sebenarnya tidak normal pada wanita, seperti pada wajah, dada atau perut. Sedangkan hipertrikosis merupakan pertumbuhan rambut yang berlebihan pada tempat-tempat yang memang biasanya ada pada wanita. Virilisasi adalah hirsutisme yang disertai tanda-tanda adanya kelebihan androgen seperti akne, suara membesar, buah dada mengecilo hipertropi klitoris, pembesaran otot dan amenorea atau oligomenorea.

2. Definisi
Hirsutisme adalah pembentukan badan rambut terminal yang tergantung androgen pada wanita dimana rambut terminal ini pada keadaan normal tidak didapatkan. Tipe rambut terminal pada pria didapatkan pada wajah, perut dan punggung dan tidak normal bila didapatkan pada wanita. Definisi ini tergantung pada etnis, dan persepsi yang berlaku umum pada masyarakat tertentu.

3. Pertumbuhan Rambut
Pertumbuhan rambut pada tubuh berada dalam stadium yang berbeda. Kestabialan pertumbuahannya secara klinis penting, karena bila terjadi gangguan menyebabkan alopesia ataupun pertumbuhan yang berlebihan.
Siklus pertumbuhan rambut terdiri dari 3 fase, yaitu fase anagen, katagen dan telogen. Fase anagen adalah fase pertumbuhan, 85-90% siklus pertumbuhan rambut berada pada fase ini. Katagen adalah fase involusi dan telogen adalah fase terakhir dari siklus. Kedua fase yang terakhir ini merupakan 10-15% siklus pertumbuhan rambut. Fase yang paling terpengaruh oleh kelaianan yang ada adalah fase anagen, misalnya pada penggunaan abat-abat tertentu.
Berdasarkan tipe rambut , dikenal 3 tipe rambut, yaitu lanugo, vellus dan terminal. Lanugo merupakan rambut yang terdapat pada bayi baru lahir, vellus terdapat pada badan orang dewasa. Sedangkan terminal adalah rambut yang ada pada kepala dan pubis. Ketebalan dan tebalnya rambut terminal bervariasi pada beberapa individu tergantung genetik dan faktor-faktor nutrisi.
Pertumbuhan rambut dipengaruhi oleh faktor hormonal yang mempengaruhi pertumbuhan rambut yaitu:
1. Androgen, terutama testosteron, merangsang pertumbuhan rambut, menambah diameter dan pigmentasi, mungkin juga meningkatkan kecepatan mitosis matrik sel.
2. Estrogen, bersifat berlawanan dengan androgen.
3. Progentin, pengaruhnya sangat kecil terhadap pertumbuhan rambut.
4. Kehamilan (tinggi estrogen dan progesteron), dapat menyebabkan sinkronnya pertumbuhan rambut.
Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi pertumbuhan rambut, antara lain, suhu kulit dan aliran darah. Pertumbuhan rambut lebih cepat pada musim panas dibandingkan musim dingin.

Hanya tempat-tempat tertentu pada tubuh yang pertumbuhannya dipengaruhi oleh androgen. Tempat-tempat tersebut yaitu, wajah, leher, dada, perut, ketiak, lengan, tungkai dan pubis. Sebagian dari kepala termasuk androgen sensitif. Metabolisme androgen dalam unit pilosebaceus, melibatkan interaksi testosteron dengan reseptor androgen, dimana terjadi konversi testosteron menjadi dihidrotestosteron yang lebih poten oleh enzym 5α reduktase. Stimulasi pilosebacea oleh androgen pada tempat-tempat tersebut menyebabkan konversi vellus menjadi terminal. Sedangkan rambut pada tangan dipengaruhi oleh mekanisme androgenik ini.

4. Biosintesis Androgen
Androgen dan prekursornya diproduksi di kelenjar adrenal dan ovarium, diatur oleh luteinizing hormon (LH), dan adrenokortikotropik hormon (ACTH). Biosintesis dimulai dengan konversi kolesterol menjadi pregnenolon oleh enzim-enzim. Kemudian pregnenolon mengalami 2 tahap konversi menjadi 17-ketosteroid dehidroepiandrosteron (DHEA). Konversi ini terjadi melalui sitikrom P450 c17, yaitu suatu enzim dengan aktivitas 17α-hidroksidase dan 17-20 lyase. Secara bersamaan progesteron mengalami transformasi menjadi adrostenedion, melalui δ-5 isomerase 3β hidroksi steroid dehidrogenase (3β-HSD).
Sekresi 17-ketosteroid adrenal dimulai pada prepubertas (adrenarche) dimana terjadi perubahan dramatis dari respon kortek adrenal terhadap ACTH, dengan mensekresikan δ-5 steroid termasuk 17 hidroksi pregnenolon, DHEA dan dehidroepiandrosteron (DHEAS). Perubahan tersebut berkaitan dengan peningkatan zona retikularis dan peningkatan aktivitas enzim 17-hidroksilase dan 17-20 lyase.
Testosteron merupakan androgen sirkulasi yang paling penting. Hampir separuh testosteron serum wanita dibentuk dari konversi androstenedion dan separuhnya lagi dari sekresi kelenjer. Ovarium dan kelenjer adrenal menghasilkan testosteron pada wanita dalam jumlah yang hampir sama. Testosteron sirkulasi sekitar 85% terikat pada seks hormon binding globulin (SHBG) yang dianggap secara biologik tidak aktif, sehingga suatu peningkatan konsentrasi testosteron total yang tidak berikatan dengan SHBG, akan berikatan dengan albumin (10-15%). Sejumlah kecil (1-2%) testosteron yang benar-benar bebas. Jumlah testosteron bebas tergantung pada konsentrasi SHBG, yang meningkat pada peningkatan konsentrasi estrogen seperti pada kehamilan dan fase luteal, selama terapi estrogen (termasuk kontrasepsi oral), pada peningkatan konsentrasi hormon tiroid, sirosis hepatis. Konsentrasi SHBG menurun pada pemberian obat-obat androgenik (progestatinal agent, danazol), kelainan-kelainan androgenik (PCOS, Cushing’s sydrome), glukokortikoid, growth hormone, prolaktin, insulin dan obesitas. Untuk menimbulkan efek biologis pada jaringan target, testosteron harus dirubah menjadi suatu bentuk metabolit aktif dihidrotestosteron oleh 5α reduktase.
inal

Etiologi Hirsutisme
Beberapa penyebab pertumbuhan rambut yang berlebihan dibuat dalam sistim klasifikasi yang sederhana dan logis, seperti di bawah ini:
1. Kelebihan produksi androgen.
2. Kelebihan relatif androgen karena rendahnya binding globulin.
3. Meningkatnya respon organ-organ target.
4. Persepsi penderita.
Kelebihan produksi androgen dan konsentrasinya dalam sirkulasi
Kelebihan produksi androgen merupakan faktor yang paling sering menyebabkan hirsutisme. Sumber androgen bisa eksogen maupun endogen, tapi yang paling banyak adalah endogen. Sumber endogen utama adalah glandula adrenal dan ovarium.
Kelebihan androgen adrenal mungkin berhubungan dengan defisiensi enzym sintesis steroid, proses neoplasma ganas adrenal, ataupun keadaan-keadaan lain seperti Cushing’s sindrome. Ada 3 defisiensi enzym steroid adrenal yang telah diketahui yang berhubungan dengan hirsutisme, yaitu:
1. Defisiensi 21α-hidroksilase
2. Defisiensi 11β- hidroksilase.
3. Defisiensi 3β-ol-dehydrogenase.
Dari ketiganya yang paling sering adalah defisiensi 21α-hidroksilase, dengan prevalensi 1-10% diantara wanita-wanita dengan hirsutisme. Penyebab kelebihan androgen yang paling sering adalah kelainan ovarium, yaitu sindrom polikistik ovarium (PCO)
Kelebihan relatif androgen dan seks hormon binding globulin
Dalam keadaan normal kurang dari 3% testosteron sirkulasi dalam bentuk bebas dalam serum. Sebagian besar androgen sirkulasi dalam bentuk terikat dengan seks hormon binding globulin (SHBG). Setiap keadaan yang mempengaruhi konsentrasi SHBG dapat menyebabkan kelebihan relatif androgen sirkulasi. Beberapa kondisi yang menurunkan SHBG telah diketahui, termasuk sindroma PCO dan obesitas, sedangkan faktor lain yang mempengaruhi konsentrasi SHBG ataupun kekuatan ikatannya, yaitu penggunaan obat-obat tertentu.

Kelainan responsivitas terhadap androgen yang meningkat.
Bila androgen sampai ke target sel, akan berinteraksi dengan reseptor androgen, yang dikendalikan oleh suatu gen pada kromosom X. Testosteron dirubah menjadi dihydrotestosteron suatu androgen yang lebih kuat denganbantuan enzym 5α-reduktase. Meningkatnya aktivitas enzym 5α-reduktase menyebabkan terjadinya hirsutisme.
D. Kelainan persepsi dan image penderita
Hirsutisme merupakan keadaan yang bersifat subyektif, walaupun adanya ambang batas tertentu secara semiobtektif dengan sistim akala skoring. Skala semiobyektif merupakan skor dari beberapa tempat, seperti wajah, dada dan perineum, dimana penderita lebih mengetahui daerah tersebut, serta keadaan rambut yang sangat berbeda pada masing-masing daerah tersebut.
Pada umur belasan tahun timbulnya akne dan hirsutisme dapat menyebabkan perasaan stress, sehingga dalam pengobatannya para klinisi harus memikirkan keadaan tersebut. Hal yang harus dijelaskan kepada penderita yang mengeluhkan pertumbuhan rambut yang berlebiahan pada daerah-daerah non androgen dependen seperti pada lengan dan tungkai bawah, yaitu pertumbuhan rambut di daerah tersebut bersifat genetik dan tidak tergantung pada androgen, sehingga tidak perlu penanganan khusus pada keadaan seperti itu.

Hirsutism dapat berasal dari penggunaan agen farmakologi eksogen termasuk danazol (Danocrine), anabolic steroid, dan testosterone. Konstrasepsi oral (OC) yang mengandung levonorgestrel, norethindrone, dan norgestrel cenderung memiliki efek androgenik yang lebih kuat, sedangkan mereka yang memiliki diacetate ethynodiol, norgestimate, dan desogestrel kurang bersifat androgenik. Pengobatan-pengobatan yang menyebabkan hyperprolactinemia juga dapat menyebabkan hirsutism.


VI. Diagnosis Hirsutisme
Diagnosis hirsutisme dapat ditegakkan jika dilakukan pemeriksaan sesuai dengan algoritme yang telah ada. Tahap pertama berupa identifikasi adanya Hirsutisme tersebut. Pada beberapa kasus ditemukan karena adanya kelainan ovulasi. Walaupun secara klinis hal tersebut tidak diperhatikan oleh pasien. Sedangka pada kasus lain pasien datang dengan keluhan utama Hirsutisme, walaupun sebenarnya pertumbuhan rambut yang dia keluhkan masih dalam batas normal.
Jika Hirsutisme tersebut ditemukan namun tidak dikeluhkan oleh pasien , maka tidak perlu diberitahukan bahwa keadaan tersebut adalah abnormal, karena dapat menimbulkan masalah baru baginya. Hirsitisme dapat bersifat idiopatik, genetik ataupun familiar, sehingga riwayat perjalanan yang lengakap sangat diperlukan, khususnya saat dan kronologis terjadinya pertumbuhan rambut yang berlebihan. Pada wanita usia belasan tahun, ditentukan berapa usia menarsnya, adanya penyakit-penyakit yang pernah diderita, riwayat keluarga khususnya pertumbuhan rambut dalam keluarganya.
Pemeriksaan fisik ditujukan pada timbulnya hirsutisme dan menentukan kuantitasnya. Beberapa macam skala digunakan untuk menentukan riwayat hirsutisme. Disamping itu pemeriksa harus memperhatikan adanya akne dan virilasi serta membedakannya dengan hipertrikosis. Adanya hiperpigmentasi, acantosis nigrican merupakan pertanda insulin resisten dan sering bersamaan dengan sindroma PCO.
Hal-hal lain yang perlu diperhatikan pada pemeriksaan fisik adalah menentukan tinggi badan, berat badan dan tekanan darah. Parameter- parameter tersebut merupakan tanda adanya kelebihan androgen akibat defisiensi enzym adrenal. Pemeriksaan visual pada genetelia sksterna diperlukan untuk menentukan tanda-tanda dini dari virilasi.
Evaluasi yang adekuat dari hirsutisme memerlukan suatu metode. Sistim skoring semiobyektif merupakan metode yang sering dipakai,misalnya sistim Ferriman dan Gallwey. Batas skor yang dinyatakan sebagai hirsutisme adalah skor di atas 6. Diperlukan kerjasama dari pasien dalam menggunakan skala ini. Hasil skoring disimpan dalam file pasien, pada kunjungan berikutnya skoring dilakukan lagi untuk menilai perkembangan hirsutisme dari waktu ke waktu.
Pemeriksaan apa yang diperlukan pada pasien hirsutisme masih kontroversi. Beberapa klinisi berpendapat bahwa dengan adanya temuan klinis berupa kelainan ovulasi dan hirsutisme sudah dianggap cukup untuk memulai suatu pengobatan. Berlainan dengan klinisi lain yang merasa perlu melakukan pemeriksaan yang lebih kompleks. Jalan yang terbaik yang merupakan jalan tengah , yaitu melakukan pemeriksaan dengan mengutamakan keselamatan dan ditujukan untuk mendapatkan informasi yang berguna bagi penatalaksanaannya.
Pemeriksaan yang dianjurkan adalah sebagai berikut:
A. Pemeriksaan produksi androgen
1. Testosteron (total dan bebas)
2. DHEAS
3. 17-Hydroxyprogestrone (sampel pagi hari)
4. 3 α androstenadiol glukoronide
B. Pemeriksaan kelainan-kelainan medis yang menyertai
1. Kelainan ovulasi (FSH dan LH)
2. Disfungsi Thyroid
3. Hiperprolaktinemia
C. Pemeriksaan lainnya
1. Androstenedion
2. Tes provokasi
a. Tes stimulasi kortikotropin
Penentrran insulin resistensi Causes of Hirsutism, Associated Laboratory Findings, and Recommended Additional Testing
Diagnosis
Testosterone
17-OHP
LH/FSH
Prolactin
DHEAS
Cortisol
Additional testing
Congenital adrenal hyperplasia
Normal to increased
Increased
Normal/normal
Normal
Normalto increased
Normal to decreased
ACTH stimulation may be necessary to make diagnosis.
Polycystic ovary syndrome
Normal to increased
Normal
Normal to increased LH and decreased to normal FSH
Normal to increased
Normal to increased
Normal
Primarily a clinical diagnosis Consider laboratory testing and ultrasonography of ovaries to rule out other disorders/tumors. Consider screening lipids, glucose.
Ovarian tumor
Increased
Normal
Normal/normal
Normal
Normal
Normal
Ultrasonography or CT to image tumors
Adrenal tumor
Increased
Normal
Normal/normal
Normal
Increased
Normal to increased
Ultrasonography or CT to image tumors
Pharmacologic agents (exogenous)
Normal
Normal
Normal/normal
Normal
Normal
Normal
Withdrawal of offending agent recommended
Idiopathic
Normal
Normal
Normal/normal
Normal
Normal
Normal

Familial
Normal
Normal
Normal/normal
Normal
Normal
Normal

17-OHP = 17a-hydroxyprogesterone; LH = luteinizing hormone; FSH = follicle-stimulating hormone; DHEAS = dehydroepiandrosterone sulfate; ACTH = adrenocorticotropic hormone; CT = computed tomography.
Adapted with permission from Gilchrist VJ, Hecht BR. A practical approach to hirsutism. Am Fam Physician 1995;52:1841.

Untuk mengetahui produksi androgen terdapat bebrapa cara. Testosteron total atau bebas dapat diukur. Pengukuran testosteron total dapat menggambarkan kelebihan androgen secara kasar, demikian juga dengan pengukuran DHEAS. Sedangkan pengukuran testosteron bebas akan lebih baik untuk membuktikan adanya kelebihan androgen. Secara klinis batas nilai normal testosteron bebas cukup besar, dalam pelaksanaan klinisnya. Sebagai alternatif lain adalah pengukuran SHBG.
Pemeriksaan tentang defisiensi enzim adrenal yang simpel adalah mengukur kadar 17-Hydroxyprogestrone pada sampel pagi hari. Untuk mengetahui adanya kelainan medis penyerta, perlu dilakukan pemeriksaan untuk mendeteksi adanya gangguan ovulasi, disfungsi tiroid ataupun produksi prolaktin yang berlebihan, jika dari hasil anamnesis maupun pemeriksaan klinis didapatkan tanda-tanda kemungkinan adanya gangguan-gangguan tersebut.
Pasien dengan riwayat keluarga terdapat defisiensi enzim adrenal perlu diprioritaskan untuk dilakukan test provokasi adrenal. Pemeriksaan tambahan lain yang berguna untuk menentukan diagnosis akhir antara lain USG ovarium dan kelenjar-kelenjar adrenal, CT atau MRI adrenal.
VII. Terapi
A. Metode Fisik Penghilangan Rambut
1. Bleaching. Hydrogen peroxide dapat digunakan untuk penyamaran pada rambut facial yang terpigmentasi. Namun demikian, kadang-kadang, hal ini mengarah pada diskolorasi kulit.
2. Pencukuran. Tindakan ini tidak mempengaruhi tingkat pertumbuhan rambut. Efek sampingnya meliputi iritasi dan pseudofolliculitis.
3. Elektrolisis. Hal ini merupakan cara efektif untuk menghilangkan rambut secara permanen. Meski demikian prosedurnya sangat bergantung pada operator. Demikian pula, laser dapat digunakan untuk memproduksi cahaya monochromic, yang secara khusus terserap dalam kulit dan menghasilkan energi termal untuk menghasilkan folikel rambut.
4. Pengarungan berat badan. Hirsutisisme lebih lazim pada wanita gemuk dengan PCOS dibandingkan pada wanita kurus. Sehingga, kurangnya berat badan tubuh pada wanita obesitas dapat mengakibatkan berkurangnya rambut tubuh.

B. Metode Farmakologi
Pil kontrasepsi oral. Kontrasepsi oral akan menekan aktivitas varian androgen dan menambah sex hormone-binding globulin (SHBG), sehingga menurunkan testosteron bebas. Kontrasepsi oral yang mengandung norethisterone atau levonorgestrel hendaknya dihindari, karena berpotensi memperburuk hirsutisisme. Kombinasi antara pil kontrasepsi oral dengan anti-androgen cyproterone acetate (Dianette*) lebih efektif.
Cyproterone acetate. Cyproterone acetate akan mengurangi hirsutisisme dengan dua cara. Zat ini merupakan antagonis reseptor androgen pada kulit dan juga memiliki aktivitas progestogen yang akan menghambat sekresi gonadotrophin, sehingga meningkatkan produksi ovarian androgen. Hal ini harus dilakukan pada suatu kontrasepsi efektif (biasanya pil kontrasepsi oral), karena paparan pada trimester pertama kehamilan dapat mengarah pada feminisasi fetus laki-laki. Cyproterone acetate dewasa ini digunakan di Eropa dan dijual sebagai kontrasepsi oral dengan nama Diane-35 atau Dianette (2 mg cyproterone acetate dan 35µg ethinylestradiol/tablet; Schering AG, Berlin, Germany) atau Androcur (50 mg/tablet, Schering AG, Berlin, Germany). Efek samping potensialnya meliputi hilangnya libido, berat badan turun, mudah lelah, payudara menjadi lembek, rasa tidak enak pada gastrointestinal, dan sakit kepala.
Spironolactone. Spironolactone merupakan antagonis aldosterone oral dengan sifat anti-androgenic. Dengan peningkatan metabolic clearance dan pengurangan aktivitas 5-alpha-reductase kutan, terjadi pengurangan terhadap bioavailability testosterone. Hal ini terjadi dengan mengkomplekskan reseptor androgen intrasel, yang membentuk reseptor biologis tidak aktif. Karena efek diuretik potassium-sparing, tingkat potasium serum hendaknya dipantau pada awal perawatan.
Flutamide. Flutamide adalah antiandrogen nonsteroid yang dapat mencegah kenaikan kadar androgen dan/atau menghambat ikatan nuclear pada struktur seks sekunder. Flutamide dengan reseptor androgen nuklear akan menjadi bentuk komplek yang tidak aktif. Ada beberapa laporan yang menunjukkan bahwa flutamide mempunyai keefektifan untuk pengobatan hirsutisme. Flutamide tidak mempunyai aktivitas glukokortikoid, P-like, androgenik atau antigonadotropik. Flutamide juga tidak mempunyai efek yang significant pada pulsasi LH atau terhadap respon LH dan FSH pada GnRH. Dilaporkan bahwa setelah pengobatan Flutamide selama 9 bulan atau 1 tahun dengan dosis yang sama menunjukkan hasil yang sama.
Finasteride. Ini merupakan inhibitor 5-alpha-reductase, yang merupakan akibat mode aksi secara signifikan tetragenik (potensi feminisasi janin laki-laki), sehingga kontrasepsi efektif harus sering digunakan. Pemakaian finasteride hendaknya dibatasi hanya pada beberapa kasus parah saja, di bawah pengawasan pusat tersierPencegahan terjadinya stimulasi pertumbuhan rambut lebih lanjut
.
REFERAT



HIRSUTISME




Oleh :
dr Husnul Abid


Pembimbing :
dr Zain Alkaf,SpOG(K)



SUB BAGIAN ENDOKRINOLOGI & REPRODUKSI
BAGIAN OBSTETRI GINEKOLOGI
RSUP Dr SARDJITO/UNIVERSITAS GADJAHMADA
YOGYAKARTA
2008